Oleh Mohammad Hailuki
Tulisan ini dibuat untuk mengenang mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Alm. Margiono yang telah berpulang pada 1 Februari 2022.
Kenangan saya yang paling berkesan dengan Margiono atau yang biasa disapa MG, adalah saat saya terlibat dalam pemenangan beliau pada Kongres XXII PWI di Banda Aceh tahun 2008.
Saat itu kamar hotel tempat saya menginap jadi markas pemenangan. Malam jelang pemilihan, selepas waktu Isya dipimpin pemilik Grup Media Fajar, Alwi Hamu kami kumpul membuat kalkulasi final.
Sebagai ‘anak bawang’ tugas saya terkait hal-hal teknis mulai dari siapkan alat tulis sampai pesan kopi dan snack.
“Luki coba tandai di karton mana yang sudah bulat dukung, mana yang abu-abu, dan mana yang tidak dukung,” ujar Alwi Hamu.
Kemudian saya laksanakan perintah itu hingga terpetakan secara jelas jumlah suara yang dukung & tidak mendukung MG. Akhirnya malam itu disimpulkan MG akan menang dengan suara mayoritas.
Perhitungan kami tidak meleset. Ketika voting dilakukan benar saja, MG terpilih dengan 58 suara, Parni Hadi mendapat 13 suara, Wina Armada meraih 13 suara, dan Dhimam Abror sebanyak 11 suara.
Meski bukan peserta Kongres, sebagai ‘anak bawang’ saya tetap bisa masuk arena menjadi ‘peninjau tidak resmi’. Bagaimana caranya? Pakai ilmu ninja, ha ha ha…
Di dalam arena saya merekam ingatan, saat pidato MG meminta maaf jika pada periode sebelumnya beliau kurang aktif. Atas dasar itulah MG mau menebus hutang itu pada periode kepemimpinannya.
Pidato MG disampaikan dengan nada santai diselingi guyon. Persis gaya mendalang yang merupakan profesi beliau selain jurnalis.
Para peserta yang menyimak pun memberi applause. Pekik-pekik kemenangan berkumandang di dalam arena Kongres XXII PWI.
Beberapa jam sebelum tengah malam kongres pun secara resmi ditutup. Kongres sudah beres tapi tugas saya sebagai ‘anak bawang’ belum beres, yaitu harus membereskan urusan penginapan rombongan kami.
“Luk, tolong kamu beresin soal hotel ya!” ujar orang kepercayaan MG. “Siap aman,” jawab saya tanpa mikir panjang.
Sepulang dari perhelatan itu, MG berikan tugas lain kepada saya untuk memimpin salah satu anak perusahaan. Alhamdulillah, saya bisa jalankan tugas tersebut meski belum ideal.
Dua tahun berselang, saya ditugasi lagi memimpin anak perusahaan lainnya. Nah, untuk urusan kali ini saya akui tidak berhasil. Karena bukan bidang usaha yang saya kuasai.
Akhirnya, pada 2010 dengan penuh kesadaran saya ajukan resign dari Rakyat Merdeka Group. Saya pamit baik-baik kepada MG dan meminta maaf.
Semoga beliau memaafkan saya lahir bathin, dan semoga Allah SWT menerima segala amal baiknya. Sugeng tindak Pak MG.