AKSI kriminalitas begal motor yang terjadi di sekitar Ibukota belakang ini telah mencapai puncaknya dengan tindakan anarkis balasan pembakaran hidup-hidup pelaku begal hingga tewas di pinggiran Jakarta, tepatnya Pondok Aren, Tangerang Selatan. Ternyata, pelaku yang diketahui masih berusia remaja.
Sungguh ironis, aksi tersebut terjadi di tengah masyarakat yang memiliki peradaban dan kebudayan luhung, masyarakat yang mempunyai tatanan nilai, norma susila dan sistem hukum, bukan sebuah masyarakat yang tak beradab atau masyarakat primitif. Terlebih lagi, aksi pembakaran itu dilakukan di dekat Ibukota yang notabene masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan relatif lebih baik dari pada wilayah lainnya.
Tentu aksi barbar itu tidak dibenarkan, masyarakat tak lagi memberi ampun kepada pelaku kejahatan, tindakan main hakim sendiri diambil seolah bukan untuk menimbulkan efek jera, melainkan tampak sebagai pelampiasan emosi dendam amarah terhadap kawanan begal yang meresahkan masyarakat di sekitar Jabodetabek.
Tindak barbar diambil secara kolektif seolah dianggap sebagai solusi yang benar, padahal semestinya, masyarakat bisa mempercayakan lembaga penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian untuk menumpas kawanan begal, namun opsi itu tidak dilakukan, mengapa demikian? Logika sederhana mengatakan, aksi hukum rimba terjadi di jalanan karena runtuhnya wibawa lembaga Polri yang diakibatkan oleh berbagai praktek-praktek tercela aparat Kepolisian sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap Polisi.
Harus diakui wajah Polri hari ini tampak lusuh di semua lini, perwira tinggi, perwira menengah sampai prajurit rendahan. Fenomena aktual pertikaian antara Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan isu rekening gendut sejumlah perwira tinggi dan mantan petinggi Polri merupakan cermin lusuhnya wajah Polri di level atas.
Sementara itu, pada tataran jauh di bawah, wajah Polri tak kalah kumal akibat beredarnya rekaman oknum-oknum prajurit Polisi Lalu Lintas (Polantas) yang tertangkap basah menerima pungli dari pelanggar lalu lintas. Akibatnya masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap Polri yang semestinya menjadi lembaga yang melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
Tidak kalah argumen lusuhnya wajah Polri menyebabkan pembangkangan sosial terhadap aturan, termasuk salah satunya aksi main hakim sendiri membakar pelaku begal hingga mati, hanya saja pandangan itu belum mampu menjawab persoalan substansial bagaimana lembaga penegak hukum menjadi bagian dari penyebab kekacauan sosial. Bagaimana pelanggaran yang terjadi pada level atas berimbas kepada kekacauan di level bawah.
Perilaku Elite
Jika kita meneropong lebih dalam, sebenarnya penyebab masyarakat menjadi anarkis bukan semata karena lemahnya wibawa lembaga penegak hukum, citra negatif Polri hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi saja, melainkan ada persoalan utama yang membuat masyarakat kehilangan norma sehingga bertindak anarkis, yaitu masalah rendahnya keteladanan yang dilakukan para pemimpin atau elite.
Selama ratusan tahun, ilmu politik menjadikan perilaku (behaviour) sebagai salah satu kajian utama, baik perilaku sebagai individu maupun lembaga yang termasuk dalam kategori aktor-aktor dalam sistem politik. Kajian tentang perilaku, khususnya tentang elite dimaksudkan untuk meneropong sejauh mana interaksi di antara aktor-aktor tersebut, juga bagaimana para elite mencapai dan mengelola kekuasaannya.
Menurut Vilfredo Pareto sebagaimana dikutip oleh Maurice Duverger, elite adalah individu-individu yang paling mampu dalam setiap cabang kegiatan manusia. Elite berjuang melawan massa untuk mencapai posisi kekuasaan kemudian membentuk oligarki yang mengabdikan diri kepada mereka, (Duverger, 1972).
Dalam politik, elite adalah sekelompok individu yang memegang kendali atas penguasaan sumber-sumber kekuasaan politik. Memegang kendali artinya mereka mengatur dan mengelola sumber-sumber kekuasaan dalam sebuah tatanan berbangsa dan bernegara, kekuasaan yang dimaksud adalah institusi atau lembaga yang mempunyai kewenangan mengatur publik melalui kebijakan-kebijakan.
Pareto mengatakan, elite menempati struktur puncak dalam kelas sosial, namun elite tidak berdiri sendiri, mereka akan membangun sebuah oligarki untuk melanggengkan kekuasaannya. Semakin kuat dan semakin luas oligarki yang dibangun elite tersebut maka semakin lama dia berkuasa, sehingga kerap kali oligarki menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan elite.
Dikarenakan elite menduduki posisi puncak dalam kelas sosial, maka perilaku elite dan kekuatan oligarkis secara tidak langsung mempengaruhi kelas sosial di bawahnya, sehingga dalam waktu yang lama, terlepas benar atau tidak perilaku akan melembaga sehingga dijadikan rujukan oleh masyarakat. Semakin banyak elite yang berperilaku benar maka masyarakat akan ikut berperilaku benar, begitu pula sebaliknya, jika semakin banyak elite berperilaku buruk tidak melanggar aturan maka masyarakat akan berperilaku demikian pula.
Era Reformasi ternyata belum bisa menghapus perilaku koruptif para elite, yang terjadi modus korupsi menjadi makin beragam varian, benar kiranya jika korupsi dikatakan sebagai penyakit laten, karena sindromnya menjangkit semua profesi dan kelompok dalam semua dimensi kehidupan. Kelompok tua atau muda, birokrasi atau aktivis, sipil atau militer, tokoh agama atau abangan, gender pria atau wanita terjerat korupsi dengan besaran yang variatif.
Tindak pidana korupsi sejatinya adalah bentuk lain dari aksi begal, karena begal secara harfiah maknanya adalah menyamun atau mengambil milik orang lain. Maka para koruptor sudah semestinya diberi predikat sebagai pembegal, karena mereka menyamun uang milik negara yang notabene adalah uang rakyat untuk kepentingan kelompok elite atau oligarki kekuasaan. Pembegal atau pelaku begal pasti tidak beraksi sendiri, mereka beraksi dalam kelompok-kelompok, memburu mangsa jarahan.
Dalam praktek korupsi pun demikian, aksi begal para elite ini melibatkan sebuah interkoneksivitas antara beberapa lini kekuasaan baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Bahkan melibatkan juga di luar ketiganya yaitu kelompok kepentingan seperti kalangan pengusaha atau profesi hingga kelompok penekan seperti pers dan LSM. Mereka ini layak disebut sebagai Criminal Collabolators.
Aksi Sistemik
Kelompok Criminal Collabolators beraksi secara berjamaah atau sistemik, sebagaimana yang Vilfredo Pareto katakan bahwa setelah elite mencapai kekuasaan lalu membangun sebuah oligarki untuk mengelola dan melanggengkan kekuasaan, bahkan tak segan menjarah atau membegal kekayaan negara. Semakin solid elite pembegal maka semakin besar pula uang negara yang berhasil dibegal. Penegakan hukum baru bisa dilakukan apabila terjadi friksi di antara anggota Criminal Collabolators yang dikarenakan tidak meratanya hasil jarahan.
Namun harus diakui, tidak semua elite bermental begal, meski minoritas jumlahnya masih ada birokrasi, politisi, polisi, jaksa atau hakim yang mempunyai self control, begitu pula di kelompok kepentingan dan kelompok penekan. Masih ada sekelompok elite yang relatif menjaga integritasnya dengan cara susah payah mereka menjadi sub-ordinat di tengah belantara sistem korup, namun mereka tidak punah.
Jika sebutan koruptor tidak lagi dianggap memalukan dan atau merendahkan martabat para pelaku korupsi, maka perlu kiranya digunakan istilah tukang begal atau pembegal bagi para koruptor. Realitanya aksi begal eksis dalam sendi-sendi kehidupan bernegara, hal itu nampak dalam pengungkapan berbagai kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan banyak elite negeri ini.
Pandangan Indonesianis, Jeffery Winters menyebutkan bahwa oligarki kekuasaan yang tidak taat hukum merupakan penyebab perilaku koruptif di Indonesia. Perilaku oligarki yang tidak taat hukum membuat hukum di republik ini runtuh, sehingga pelanggaran demi pelanggaran dianggap menjadi sesuatu yang lumrah dan halal. Celakanya, korupsi dianggap menjadi budaya bangsa.
Sajian itulah yang membuat masyarakat muak terhadap perilaku elite pembegal uang rakyat, pada titik kuliminasi tertentu rakyat yang makin muak melihat prilaku begal para elite memerlukan sarana pelampiasan emosi. Lantaran untuk saat tertentu itu rakyat tidak bisa melampiaskannya kepada para elite pembegal maka masyarakat menyalurkan amarahnya kepada obyek berbeda. Maka, pelaku begal motor dipilih sebagai objek penderita yang tepat untuk meluapkan kemarahan rakyat atas maraknya ketidakadilan dan rendahnya keteladanan elite.
Sungguh ironis, jika seorang pembegal motor meregang nyawa karena dihukum secara sosial dengan cara dibakar hidup-hidup sampai mati, sedangkan koruptor alias elite pembegal malah mendapat perlakuan nyaman bahkan terhormat. Jika situasi ini tidak dibenahi maka amarah rakyat akan meningkat sampai titik kulminasi tertinggi.
Masyarakat pelaku pembakaran hidup-hidup pembegal motor mungkin sepenuhnya menyadari apa yang mereka lakukan melanggar hukum, namun tindakan itu ‘terpaksa’ harus diambil untuk kembali menciptakan tertib sosial yang dirasa telah hilang. Tentu kita tidak membenarkan aksi tersebut, bagaimanapun penegakan hukum tidak boleh dilakukan dengan cara melanggar hukum, karena aksi main hukum sendiri adalah wujud ketidakadilan.
Maka dari itu, sudah saatnya para elite menyadari, bahwa realitas sosial yang terjadi merupakan dampak dari perilaku elite itu sendiri. Semakin sistemiknya aksi begal yang dilakukan para elite terhadap kekayaan negara maka semakin semakin kuat pula kebencian rakyat terhadap pemimpinnya. Kemudian puncaknya, semakin kuat kebencian rakyat maka semakin cepat terjadi pembangkangan sosial. Rakyat tidak diam, dalam gelisah mereka melakukan pelampiasan dan pada saatnya akan melakukan pembalasan. [***]
Mohamad Hailuki
Koordinator Puslabpol