Bias Makna Blusukan

ERA kepemimpinan Presiden Joko Widodo disimboli dengan sebuah penyebutan nama kabinet yang tak biasa, yaitu Kabinet Kerja, sebuah pilihan kata yang sederhana namun menunjukkan komitmen kuat pemerintah dalam melayani rakyat dan bersungguh-sungguh melakukan perubahan.

Seolah juga, Kabinet Kerja merupakan antitesis dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak hanya pilihan nama kabinet yang beda, melainkan juga penampilan fisik para pejabatnya juga berbeda. Jika Presiden SBY dan para menterinya kerap mengenakan pakaian kemeja tenun serta safari lengan pendek, maka Presiden Jokowi dan para menteri tampil dengan kemeja putih dengan tangan panjang terlipat dan baju dikeluarkan.

Pakaian kemeja demikian tidak identik dengan pakaian pejabat, melainkan pakaian pekerja biasa jauh dari kesan mewah. Spirit itu yang tampaknya ingin diperkuat oleh Presiden Jokowi yang notabene sudah mempunyai citra kuat sebagai pelaku blusukan. Persepsi Jokowi sebagai pejabat negara yang gemar turun ke masyarakat tempak hendak ditularkan kepada Kabinet Kerja melaui penampilan simbol-simbol nama kabinet dan pilihan pakaian para menteri.

Spirit kerja dan blusukan ditampilkan oleh pemerintahan Jokowi melalui penyusunan agenda kerja di bulan pertama, setelah pelantikan kabinet Jokowi langsung terbang ke Sumatera Utara meninjau korban bencana Sinabung. Para menteri melakukan aksi blusukan sesuai bidangnya kerjanya masing-masing, bahkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri saking semangatnya sampai melancarkan aksi lompat pagar meninjau tempat penampungan TKI ilegal.

Pilihan aksi Kabinet Kerja di bulan pertamanya sukses menyihir perhatian publik, terlebih di saat parlemen tengah hingar-bingar perebutan kursi alat kelengkapan dewan (AKD), sehingga terbangun persepsi bahwa pemerintah sudah bekerja sementara DPR sibuk bertikai. Namun aksi blusukan Kabinet Kerja tidak lepas dari kritik, karena makna kerja dan blusukan menjadi bias, mana yang dimaksud kerja dan mana yang dimaksud blusukan?

Dalam terminologi fungsi manajemen, blusukan bisa dikategorikan sebagai salah satu perwujudan dari Controlling (Pengawasan) yang bertujuan untuk memastikan  kebijakan dan program dilaksanakan sesuai dengan perencanaan. Pemantauan biasanya dilakukan setelah melalui tahapan Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian/pengaturan) dan Actuating (pelaksanaan/menggerakkan). Fungsi Controlling juga dimaksudkan untuk mengevaluasi apakah perencanaan perlu dilanjutkan atau direvisi.

Dalam bukunya yang berjudul “Principles of Management”, George R. Terry mengatakan, “Manajemen adalah suatu proses yang membedakan atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan pelaksanaan dan pengawasan dengan memanfaatkan baik ilmu maupun seni agar dapat menyelesaikan tujuan yang telah ditetapkan.”

Dengan demikian, blusukan dalam makna pengawasan akan menjadi efektif apabila dilakukan setelah melalui tahapan perencanaan, pengaturan dan pelaksanaan. Tanpa ketiga tahap tersebut maka blusukan tidak dapat dimasukkan dalam kategori kinerja, dengan kata lain blusukan model sepreti itu hanya aktivitas kerja serabutan belaka. Blusukan akan masuk dalam kategori kinerja apabila memiliki Key Performance Indicator (KPI).

Nah, pertanyaannya mengapa Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi melakukan blusukan di awal masa kerjanya? Semestinya kabinet memaksimalkan proses Planning, Organizing dan Actuating terlebih dulu sebelum masuk ke tahapan blusukan. Wajar saja jika sebagian publik mempertanyakan efektivitas blusukan yang dilakukan para menteri secara sporadis dan serabutan, wajar pula bila sebagian publik berkesimpulan aksi blusukan Kabinet Kerja hanya kamuflase seolah-olah bekerja.

Tentu pandangan sinis tersebut tidak sepenuhnya benar, pemerintahan manapun ingin sungguh-sungguh melayani rakyat, terlebih di awal masa baktinya. Namun kesungguhan ingin melakukan kerja nyata tersebut tidak mesti dilakukan melalui aksi fisik blusukan, karena kinerja substansial yang ditunggu publik di tahun pertama pemerintahan Jokowi adalah kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil. Contoh sederhana, publik tidak akan peduli dengan aksi blusukan pemerintah jika Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi tetap saja dinaikkan.

Akibatnya, aksi blusukan yang dilakukan para menteri Jokowi menjadi kehilangan makna, publik akan melihat ternyata blusukan tidak bisa mencegah kenaikan harga BBM, blusukan tidak bisa mencegah naiknya harga sembako, blusukan tidak bisa menjegah jatuhnya nilai tukar rupiah. Lalu publik yang sedari awal mengambil posisi sinis terhadap pemerintah dengan hati riang akan berteriak lantang, “Blusukan tak lebih dari akrobat sirkus!”

Memang tidak mudah bagi Presiden Jokowi untuk tampil apa adanya dengan menanggung beban harapan besar dari mayoritas rakyat pemilih. Namun mengambil sikap antitesis atas segala bentuk dan format pemerintahan Presiden SBY bukanlah sikap yang bijak, alih-alih menjadi antitesis malah terkesan asal beda. Pola manajerial dan gaya kepemimpinan boleh berbeda, namun tujuan harus tetap sama yaitu terwujudnya pemerintahan bersih dan berwibawa.

Satu hal yang perlu dicatat pemerintahan Jokowi, kebanyakan rakyat hanya melihat hasil akhir, hanya sebagian kecil yang perhatikan proses kerja pemerintah. Oleh karena itu hendaknya pemerintah tidak perlu terlalu demonstratif dalam menunjukkan kinerja, karena rakyat ingin hasil akhir yang berpihak kepada mereka. Tidaklah salah juga apabila presiden, wapres dan para menteri melakukan aksi blusukan, tapi itu dilakukan setelah tahapan Planning, Organizing dan Actuating dilakukan.

Sudahkah pemerintahan Jokowi melakukan perencanaan matang pembangunan lima tahun ke depan? Grand design pemerintahan Jokowi mestilah selaras harmonis dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 yang tertuang dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2007 yang notabene adalah perwujudan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Proses penyusunan Kabinet Kerja yang menggabungkan dan meleburkan beberapa institusi dipastikan memerlukan waktu konsolidasi. Proses pengaturan organisasi ini tidak bisa dilakukan serampangan bahkan simultan dengan proses lainnya, pengorganisasian harus dilakukan secara fokus dan optimal. Sebelum proses ini selesai tak akan ada hasil kerja yang dicapai pemerintah, karena pengorganisasian mempengaruhi pelaksanaan perencanaan.

Jadi, daripada harus berkeringat blusukan sekadar mengikuti selera publik sesaat, lebih baik dudukkan kembali blusukan sesuai makna dan fungsi manajemen. Jangan habiskan energi Kabinet Kerja hanya untuk kerja serabutan, melainkan blusukan sebagai satu cara mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Pemerintahan yang bersih pasti akan melayani rakyat, pemerintahan yang melayani raktat pasti akan berwibawa.

Mohamad Hailuki

Koordinator Puslabpol

Leave a Reply