Oleh : M.A Hailuki
JAUH sebelum Republik Rakyat China (RRC) berhasil mengawinkan penerapan antara sistem politik komunisme dan sistem ekonomi kapitalisme, dunia dihinggapi sebuah mega ilusi bahwa sistem kapitalisme hanya bisa diterapkan dalam sistem politik demokrasi. Negara-negara Dunia Ketiga yang sedang mencari bentuk dicekoki oleh doktrin bahwa jika negara ingin mempunyai perekonomian yang kuat maka harus mengadopsi paket liberalisasi di bidang politik dengan cara penerapaan demokrasi sekaligus liberalisasi dalam bidang ekonomi melalui mekanisme pasar (kapitalisme).
Salah satu mitos yang paling besar di zaman kita ini, yang dihormati baik oleh para penganut paham pasar bebas maupun perencanaan negara adalah hubungan antara sisitem perekonomian dan struktur politiknya. Pengkaburan demokrasi di Dunia Pertrama dan Dunia Kedua dapat dimengerti dimana masing-masing ingin mengajukan klaim bahwa sistem perekonomiannya merupakan suatu prasyarat untuk menegakkan tata demokrasi, (Louis Irving Horowitz, 1985).
Indonesia sebagai Negara Dunia Ketiga berada di antara beberapa pilihan sistem politik dan ekonomi. Setelah Indonesia merdeka, penerapan sistem Demokrasi Liberal 1945-1959 ternyata tidak berhasil menciptakan kemajuan perekomian dikarenakan tidak adanya stabilitas pemerintahan. Kemudian pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) pun kondisi ekonomi nasional tak kunjung mengalami kemajuan. Lalu memasuki era Orde Baru (1966-1998) rezim Soeharto mendeklarasikan penerapan sistem Ekonomi Politik Pancasila, yaitu kombinasi antara sistem otoritarian dalam kehidupan demokrasi semu dengan sistem ekonomi kapitalisme neoklasik, yang tak lain pelibatan kontrol negara dalam mekanisme ekonomi pasar.
Berlimpahnya arus modal asing dan utang luar negeri membuat kapitalisme mulai tumbuh pasa masa ini. Richard Robinson mengatakan, kapitalisme yang dibangun Soeharto tidak murni berdasarkan mekanisme pasar, melainkan dikontrol oleh sebuah patronase korup hasil kolaborasi oknum militer dan pemegang modal. Persetubuhan antara modal dan aparatur negara melahirkan keluarga-keluarga konglomerat raksasa yang mengendalikan mekanisme pasar pada masa Orde Baru, (Robinson, 2012).
Medio pertengahan 90-an pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melesat cepat perlahan mulai goyah akibat utang luar negeri yang semakin menjerat. Krisis ekonomi yang terjadi di Thailand tak terbayangkan akan merembet menerpa menyebabkan Indonesia gagal tinggal landas. Paket kebijakan pemerintah dengan menyandarkan kepada rumusan International Monetary Fund (IMF) tidak bisa menyelematkan perekonomian nasional, disertai gejolak politik yang semakin meningkat hingga akhirnya berujung kepada tumbangnya rezim Orba pada 1998.
Era Reformasi membawa harapan terciptanya angin perubahan, baik dalam kehidupan politik maupun ekonomi. Indonesia kembali mencari bentuk baru. Pada titik ini, ilusi doktrin demokrasi dan kapitalisme menghinggapi arus besar tokoh-tokoh Reformasi, spirit demokratisasi menggurita dalam berbagai dimensi kehidupan, dalam kehidupan ekonomi meski digembor-gemborkan jargon ekonomi kerakyatan namun pada kenyataannya, Indonesia menerapkan sistem kapitalisme neoliberal. Pilihan-pilihan di atas tersebut membawa Indonesia kepada kondisi hari ini, dimana fundamentalisme pasar diterapkan dalam berbagai sektor masyarakat, pembangunan politik bergerak maju, namun tidak disertai pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Indonesia masih berkutat sebagai negara berkembang yang terjebak dalam jerat kapitalisme internasional, hutang luar negeri makin tinggi, kebutuhan berbagai komoditas tak mampu dipenuhi produksi dalam negeri. Indonesia berada dalam jeratan ketergantungan.
Ketergantungan & Keterbelakangan
Dalam konteks Indonesia, pemikiran Paul Baran tentang ketergantungan sangat relevan, dimana perubahan sistem feodal kepada kapitalis yang didasarkan rasionalitas pasar sebenarnya langkah awal Indonesia bertransformasi menjadi Negara maju seperti di Eropa Barat. Tapi yang terjadi terbangun aliansi antara kapitalis asing dengan kaum feodal pribumi, ini nampak sekali dimana tumbuhnya kapitalisme di masa Orde Baru dikarenakan aliansi antara pihak asing dalam hal ini lembaga pemberi hutang dan negara investor dengan feodal pribumi (Arief & Sasono, 1980).
Golongan feodal pribumi pada kolonial adalah para aristokrat (bangsawan) yang juga kaum tuan tanah di sejumlah kerajaan di Jawa dan Sumatera, namun masa Orba kaum keturunan ningrat menduduki berbagai jabatan strategis baik di militer maupun birokrat, yang paling nyata trah Kerabat Cendana. Aliansi itu mengakibatkan proses eksploitasi yang diiringi pula oleh proses korupsi dan ketidakadilan di setiap tingkat struktur pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan pemilik modal dari sistem kapitalis internasional. Dapat terlihat bagaimana korupsi menggurita pada masa Orba yang dilakukan di seluruh tingkat pemerintahan dari pusat sampai ke desa, perusahaan-perusahaan dengan mudah dapat menyuap penyelenggara negara untuk melindungi kepentingan mereka.
Baran mengatakan, pertumbuhan industri yang ada tidak berorientasi kepada pertanian, tetapi sangat berorientasi berdasarkan kebutuhan di luar negeri, akibatnya sektor industri dalam negeri memaksa sektor pertanian tidak berkembang. Apa yang disampaikan Baran terjadi di Indonesia dimana industri pertanian terpinggirkan, proses modernisasi teknologi pertanian yang semestinya digalakan pada akhirnya kalah oleh industri manufaktur padat modal yang bersumber dari asing, kemudian dibumbui juga oleh proyek ambisius mobil nasional dan industri pesawat terbang. Konsentrasi Rezim Soeharto kepada industri pertanian yang semula tinggi mulai kehilangan orientasi, akibatnya industri pertanian tidak berkembang, para petani satu per satu beralih profesi menjadi buruh industri, sentra-sentra ekonomi tidak menyebar dan hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa bahkan hanya sekitar Ibukota. Akibatnya meningkatlah arus urbanisasi dari desa ke kota, lantaran profesi petani dipandang menjadi semakin tidak menarik dan prospektif, perlahan namun pasti, Indonesia yang sempat mencapai swasembada pangan kembali menjadi negara pengimpor komoditas pokok.
Lalu, proses ekonomi seperti itu diperparah jaringan kerjasama antara pemodal asing (Negara atau lembaga pemberi hutang kepada Indonesia, pengusaha domestik seperti Salim Group dan elite penguasa komprador yang didominasi kalangan militer serta birokrasi. Kolaborasi ketiga pihak tersebut membuat gagalnya perkembangan ekonomi, Indonesia yang direncanakan tinggal landas malah kandas gagal menjadi negara maju. Didik J Rachbini menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sempat tinggi pada masa Orde Baru tidak disertai dengan pemerataan, dimana kesenjangan ekonomi menganga begitu lebar karena peran negara absen dalam mendorong keadilan ekonomi (Didik J Rachbini, 2004).
Hipotesis Andre Gunder Frank tentang kawasan-kawasan yang sekarang terbelakang adalah kawasan yang pada masa lalu memiliki kaitan yang kuat dengan metropolis dari sistem kapitalis internasional dimana kawasan ini penghasil ekspor bahan mentah primer yang terlantar akibat adanya hubungan perdagangan internasional sangat relevan dengan Indonesia. Pada masa lalu Indonesia adalah kawasan penghasil ekspor bahan mentah seperti rempah-rempah, kopi, teh yang dihisap oleh kekuatan kapitalis internasional yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) milik Belanda dan British East India Company milik Inggris., dimana pada kemudian hari Belanda ikut mendompleng Inggris dalam tentara Sekutu kembali menduduki Indonesia pasca kemerdekaan dan kemudian terjalin perdagangan internasional di antara perusahaan negera-negara dengan Indonesia.
Tiga jenis ketergantungan yang dirumuskan Santos tampak relevan dengan Indonesia, yaitu pertama ketergantungan kolonial merupakan ketergantungan yang disebabkan oleh perdagangan masa penjajahan melalui sistem monopoli oleh negara penjajah tersebut. Pada masa kolonial, Indonesia pernah dijajah oleh Inggris, Perancis dan Belanda. Kini negara-negara tersebut menanamkan modalnya di Indonesia dalam berbagai sector industry padat modal dimana secara tidak langsung mempengaruhi perekonomian nasional dewasa ini seperti Shell (Belanda), Danone (Perancis), Britis American Tobacco (Inggris).
Kedua kertergantungan industri keuangan adalah ketergantungan akibat dominasi modal besar negara penjajah dalam berinvestasi produksi bahan mentah primer untuk pemenuhan kebutuhan negara penjajah tersebut.Sebagaimana diketahui bahwa sumber daya alam Indonesia pasca kemerdekaan khususnya sejak masa Orba dieksploitasi oleh bekas negara penjajah untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan negara yang pernah menjajah Indonesia tersebut. Berbagai lembaga keuangan asing khususnya milik negara bekas penjajah saat ini bercokol di Indonesia seperti Standard Charter (Inggris), BCA (AS), ABN Amro (Belanda), Sumitomo Mitsui Financial Group (Jepang).
Ketiga ketergantungan teknologi industri pasca Perang Dunia II yaitu ketergantungan yang dikarenakan investasi perusahaan-perusahaan asing di sektor industri yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan negara berkembang, terkait hal ini pun sangat relevan dimana berbagai perusahaan multi nasional telah menancapkan kakinya di Indonesia dimana perusahaan-perusahaan tersebut menyerap jutaan tenaga kerja seperti Toyota (Jepang), Honda (Jepang), Mitsubishi (Jepang), Shell (Belanda), Pepsi (AS), KFC (AS), Nike (AS), Philips (Belanda). Termasuk juga dalam hal peralatan militer yaitu alat utama sistem pertahanan (alutsista) TNI masih mengandalkan pembelian dari negara Barat, meski kini pada beberapa perlatan sudah mulai menggunakan produksi dalam negeri seperti senapan serbu, kendaraan taktis, kendaraan tempur dan kapal perang ringan. Namun pada sejumlah peralatan utama seperti pesawat tempur, tank, kapal selam, kapal perang, rudal jarak jauh masih tergantung impor dari negara-negara Barat. Pengalaman pahit embargo suku cadang persenjataan AS terhadap Indonesia memberi gambaran nyata bahwa kekuatan kapitalisme mengontrol kemajuan negara-negara Dunia Ketiga.
Agar Negara Dunia Ketiga bisa membebaskan diri dari ketergantungan terhadap Negara Maju, Baran mengatakan maka harus ada perubahan drastis dalam struktur politik dalam negeri. Aliansi antara golongan feodal, tuan tanah, golongan industrialis yang dekat dengan penguasa dan golongan kapitalis asing harus dihancurkan. Solusi ini tampaknya sangat sulit dilakukan di Indonesia, sebab proses Reformasi 1998 tidak melakukan bumi hangus terhadap agen-agen yang menciptakan ketergantungan Indonesia terhadap kapitalis dunia, justru sebaliknya cengkraman itu saat ini semakin menguat.
Sementara Santos, mengatakan, untuk bisa membebaskan diri dari ketergantungan, maka sebuah negara harus melakukan perubahan struktur internal terlebih dulu sebelum memutus hubungan dengan pihak eksternal. Konsep ini juga sulit untuk dilakukan di Indonesia pada masa sekarang, karena struktur yang terbangun saat ini sudah terlalu mapan, karena pada 1966 dan 1998 perubahan struktur internal tidak dilakukan secara tuntas, apabila saat ini dipaksakan maka dipastikan mendapat penolakan kuat dari internal dan bahkan berdampak kepada runtuhnya rezim yang ada.
Adapun Frank menawarkan jalan keluar berbeda, menurutnya negara satelit akan bisa berkembang menjadi industri otonom apabila tidak terkait dengan metropolis dan kapitalis dunia, jalan ini untuk sebagian sektor tampak cukup realistis dilakukan di Indonesia, misalnya menjalin kerjasama dengan sesamanegara berkembang dalam bidang tertentu. Namun untuk diterapkan secara menyeluruh tampaknya tidak realistis, karena harus menghentikan segala kerjasama dengan negara metropolis akan menyebabkan kekacauan ekonomi.
Indonesia (Belum) Merdeka
Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa secara de jure Indonesia memang telah merdeka dari penjajaan negara lain, namun secara de facto saat ini belum merdeka sepenuhnya, khususnya dari penjajahan ekonomi kekuatan Barat. Harus diakui, Indonesia berada dalam situasi ketergantungan terhadap kapitalisme internasional, dimana ketergantungan itu disebabkan oleh faktor eksternal dan internal, pertam faktor eksternal yang merupakan dampak dari penjajahan di masa kolonial serta perubahan peta kekuatan dunia internasional pasca Perang Dunia II. Sedangkan faktor internal penyebab ketergantungan adalah adanya kelompok kepentingan di dalam negeri yang berperan sebagai komprador menguntungkan pihak asing.
Sulit bagi Indonesia untuk bisa membebaskan diri dari situasi ketergantungan ini, disebabkan tidak adanya solusi realistis yang diberikan oleh para penggagas teori ketergantungan. Tawaran agar Indonesia memperkuat kerjasama dengan sesamaNegara Berkembang pun tidak memberikan jaminan bagi jalan kemajuan. Apalagi realitanya, sebagian besar pembuat kebijakan di Indonesia saat ini tidak beraliran strukturalis yang meyakini perubahan hanya bisa dilakukan melalui reformasi structural, bahkan ada yang dianggap telah sepenuhnya beraliran neoliberal, maka dapat dipastikan dalam beberapa periode ke depan, Indonesia akan tetap berada dalam situasi ketergantungan ini. Indonesia (belum) merdeka.[***]