Ilusi Swasembada Jokowi

MELIHAT judul di muka saya yakin pembaca langsung bisa menerka kemana arah pembahasan kita.

Boleh dikata, ini persoalan yang akut karena menyangkut urusan perut. Bicara soal perut, maka bicara soal pangan. Dengan jumlah penduduk mencapai 265 juta jiwa berarti ada 265juta perut pula yang harus diisi makanan setiap harinya.

Maka menjadi tantangan utama setiap pemerintahan di negeri ini adalah harus mampu menyediakan makanan bagi seluruh rakyatnya sepanjang periode, sepanjang tahun, setiap bulan, dan setiap hari.

Pemerintahan Jokowi empat tahun lalu mengumandangkan Nawacita yang pada salah satu butirnya bicara tentang kemandirian bangsa. Dalam pada itu, kemandirian memenuhi kebutuhan penyediaan makanan alias swasembada pangan menjadi salah satu prioritasnya.

Namun sebatas sebuah jargon, swasembada pangan tak kunjung jadi nyata. Berbagai klaim surplus hasil panen pertanian yang dibunyikan pemerintah selalu saja diikuti dengan impor bahan pangan.

Lalu timbul pertanyaan, ketika petani sedang panen raya kenapa malahan impor? Banyak kilah dalam lidah pemerintah, impor tetap dilakukan dengan berbagai alasan. Mulai dari kualitas pangan lokal sampai kepada strategi pengendalian harga. Jadi intinya panen tak panen, impor jalan terus.

Setidaknya ada 3 dugaan mengapa sebuah rezim di negara berkembang getol lakukan impor pangan. Pertama, klaim surplus hasil panen raya itu tak sesuai fakta sebenarnya, sehingga berbeda antara kata dan data. Dengan kata lain fiktif.

Lalu kedua, bisa jadi surplus hasil panen itu benar adanya, namun jumlahnya tak cukup untuk persediaan jangka panjang. Atau ketiga, stok hasil yang sebenarnya memang surplus itu dibuat seolah-olah tak cukup sehingga memberi ruang kepada kelompok kepentingan agar bisa selalu mengambil rente dari kebijakan impor pangan.

Dugaan motif ketiga itu bukan tuduhan, melainkan pola laten khususnya di negara-negara berkembang  yang menurut Merilee Grindle disebut dengan perilaku Rent Seeking Bureaucracy and Society, yaitu persekongkolan antara pemerintah dengan kelompok kepentingan untuk mengambil keuntungan (rente) dalam sebuah kebijakan politik dan ekonomi. Dalam kaitan itu perilaku berburu rente dibekingi oleh Power Seeking Politician yang haus akan pelanggengan kekuasaan.

Sekarang mari kita lihat, pada era pemerintahan Jokowi ini impor dilakukan pada berbagai komoditas pangan utama seperti beras, jagung, daging, garam, bawang, kedelai. Pertanyaannya apakah impor tersebut dilakukan pada saat kita kekurangan hasil panen atau justru ketika surplus panen raya?

Dalam hal impor beras, selama 4 tahun jumlahnya bukan berkurang malah semakin meningkat. Pada 2014 impor beras 844.163 ton, kemudian pada 2015 menjadi 861.601 ton. Lalu 2016 impor melonjak jadi 1,2 juta ton. (Tirto.id, 23 Agustus 2018).

Yang terbaru, tahun lalu pemerintah tak tanggung-tanggung kembali membuka kuota impor mencapai 2 juta ton dengan pertimbangan untuk menekan harga pasaran beras agar tidak melonjak. Apapun alasannya, yang jelas target pemerintahan Jokowi untuk melakukan swasembada beras dalam 3 tahun nyatanya meleset.

Yang membuat perut kita geli, seperti sudah saya singgung di atas, setiap ada klaim surplus panen raya selalu saja ada impor menyertainya. Seolah pemerintah sedang melakukan stand-up comedy, dibuat tertawa terpingkal kita menontonnya.

Dari sini kita bisa membaca bahwasanya swasembada pangan baru sebatas cita-cita. Dalam bahasa prosa, itu cuma ilusi saja. Hanya angan belaka karena angka-angka sudah berbicara. Tak ada swasembada, tak ada kemandirian pangan.

Jujur saya katakan, impor bukan barang haram apabila dilakukan karena keterdesakan akibat terjadinya bencana alam atau faktor cuaca yang menyebabkan gagal panen. Itu pun bukan tak bisa diantisipasi dengan berbagai kebijakan.

Namun apabila impor dilakukan setiap tahun dengan jumlah yang terus meningkat maka wajar kiranya nalar kita bertanya, apakah yang dikatakan Grindle tentang perilaku kalap rente itu benar terjadi saat ini? Mari bertanya kepada rumput yang bergoyang.

“Gemah ripah loh djinawi, tata tentrem kerta rahardja.” Begitu penggambaran Nusantara dalam bahasa Jawa yang bermakna negeri ini amat subur dan makmur. Segala kebutuhan hidup tercukupi sehingga semua penduduknya hidup nyaman.

Semoga ke depan, cerita swasembada pangan bukan lagi sekadar cita-cita. Bukan lagi ilusi sebagaimana di era Jokowi ini. ***

Mohamad Hailuki

Koordinator Puslabpol

Leave a Reply