KONSTELASI Pilpres 2014 ternyata hanya menyajikan dua pilihan pasangan kandidat calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diusung PDIP, PKB, Partai Nasional Demokrat, Partai Hanura serta pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa usungan Partai Gerindra, Golkar, PAN, PPP, PKS dan PBB. Realita politik menempatkan kedua pasangan ini dalam posisi berhadapan head to head, sehingga Pilpres hanya akan berlangsung satu putaran.
Polarisasi ini sudah berupaya dicegah dengan cara mendorong lahirnya poros ketiga menggabungkan kekuatan Partai Golkar dan Partai Demokrat agar dapat mengusung calon alternatif. Namun rupanya, pengkutuban sudah sedemikian tajam sehingga tidak bisa dihindari lagi, Golkar memihak kepada Prabowo, Demokrat memilih netral alias nonblok. Pertarungan antara dua kutub ini dipasikan akan berlangsung sengit, keras, habis-habisan, perang akbar, perang total, perang kolosal. Ketika hanya ada dua kandidat yang berhadapan, maka seluruh energi, amunisi, logistik dan jaringan akan dicurahkan untuk memenangkan pertempuran.
Hal ini akan berakibat pada tidak adanya lagi segmentasi pasar pemilih, atau dengan kata lain akan berlangsung perang kolosal akbar di antara pendukung kedua kandidat. Perang total dan terbuka akan berlangsung keras dengan aksi yang saling berbalas, dengan tidak adanya pilihan alternatif, maka pemilih suka tidak suka ‘dipaksa’ untuk menjatuhkan pilihan, Jokowi atau Prabowo.
Middle Class
Meski segmentasi pasar dalam perang kolosal menjadi samar, namun perang kolosal akbar Jokowi melawan Prabowo akan berlangsung sangat keras di level kelas menengah (middle class), yaitu kelompok yang menjadi jembatan antara kelas bawah dan kelas atas. Anthony Giddens, mengatakan, kelas menengah adalah mereka yang karena pendidikan dan kualifikasi teknisnya dapat menjual tenaga serta pikirannya untuk mencari penghidupan yang hasilnya secara materi dan budaya jauh di atas buruh (Giddens, 2001).
Menurut Asia Development Bank (ADB) kelas menengah adalah kelompok masyarakat dengan rentang pengeluaran sebesar dua sampai 20 Dollar AS per hari. ADB memprediksi jumlah kelas menengah Indonesia sebesar 146 juta jiwa.
Sementara menurut Bank Dunia, kelas menengah merupakan warga negara yang hidup dengan pendapatan 4,5 sampai 22,1 Dollar AS per hari, dalam studinya, berdasarkan penghasilan, Bank Dunia membagi kalangan kelas menengah dalam empat kelas. Pertama kelas menengah dengan pendapatan Rp1 juta sampai Rp1,5 juta per bulan, kedua, kelas menengah dengan pendapatan Rp1,5 juta sampai Rp2,6 juta perbulan. Kemudian ketiga kelas menengah dengan pendapatan Rp2,6 juta sampai Rp5,2 juta perbulan dan terakhir kelad menengah berpendapatan Rp5,2 juta sampai Rp6 juta perbulan.
Jika melihat definisi Giddens yang menyatakan kelas menengah bukanlah buruh, sementara penghasilan tertinggi buruh di Indonesia adalah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta pada 2014 sebesar Rp2,4 juta, maka jika dipadukan berdasarkan studi Bank Dunia, kelas menengah di Indonesia adalah kategori tiga dan empat dengan rentang penghasilan antara Rp2,6 juta sampai Rp6 juta. Boston Consulting Group (BCG) menyatakan, pada 2014 kelas menengah Indonesia berjumlah 74 juta.
Adapun pemerintah, merujuk kepada ADB menyatakan kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang membelanjakan uang per harinya dengan kisaran dua sampai 20 dollar AS, pemerintahan mengklaim kelas menengah di Indonesia pada 2013 sebanyak 56,7 persen dari total penduduk. Pemerintah pun menjadikan tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor sebagai salah satu indikator meningkatnya kelas menengah Indonesia, yaitu selama 2004 hingga 2012 jumlah kendaraan bermotor baik roda dua maupun empat meningkat dari 30,5 juta menjadi 94,4 juta unit.
Terlepas dari akursi data yang ada, kelas menengah di Indonesia jumlahnya sangat signifikan dan dapat mempengaruhi peta perpolitikan, karena mereka di satu sisi dapat mempengaruhi kelas di bawahnya, di sisi lain mereka tidak bisa dikendalikan oleh kelas di atasnya. Kelas menengah mempunyai independensi dan kesadaran politik, dalam setiap perhelatan pemilu mereka menjadi penentu, mereka sering diklasifikasikan sebagai pemilih spontan yang baru akan menentukan pilihan menjelang pemilihan.
Apabila Jokowi atau Prabowo mampu merebut hati kelas menengah maka peluang untuk memenangkan pilpres akan makin terbuka, karena kelas menengah adalah motor penggerak di masyarakat. Dari segi pembagian profesi, dalam kelompok ini terdapat sejumlah kaum akademisi, kaum cendikiawan, reformis, intelektual, para pengusaha muda, pengacara, tokoh-tokoh politik, aktivis kebudayaan, kaum teknokrat, aktifis LSM, para juru dakwah, publik figur, para presenter, para pengamat ekonomi dan sejenisnya (Robison 1993).
Influencer Marketing
Merebut hati kelas menengah tidaklah mudah, karena mereka memiliki tingkat kekritisan terhadap kondisi politik. Dibutuhkan kampanye kreatif untuk bisa meluluhkan hati kelas menengah, jika hanya dilakukan dengan pendekatan kampanye konvensional apalagi serampang maka tanpa diminta mereka akan berbalik menyerang.
Contohnya dalam pemilu legislatif 2014 adalah fenomena NPWP (nomor piro, wani piro), sesungguhnya jika dicermati itu adalah serangan balik kelas menengah terhadap pola kampanye konvensional para politisi dan partai politik yang hanya mengandalkan politik uang transaksional semata. Akibatnya banyak calon anggota legislatif menjadi korban, habis diporoti oleh masyarakat kelas bawah yang terpengaruh gerakan kelas menengah untuk mengambil uangnya tapi tidak memilih orangnya.
Salah satu cara untuk mendapatkan dukungan kelas menengah adalah melalui Influencer Marketing Strategy, yaitu strategi memasarkan produk dengan memanfaatkan kekuatan orang-orang berpengaruh untuk menyebarkan merek dagang dan membangun kepercayaan konsumen terhadap merek dagang tersebut dalam hal ini adalah capres dan cawapres. Influencer figure haruslah sosok yang mempunyai citra positif, memilki kredibilitas dan integritas baik di mata masyarakat.
Seorang influencer figure tidaklah sama dengan seorang juru kampanye, karenainfluencer figure tidak sekadar merekomendasikan publik untuk memilih, melainkan menaruh kepercayaan, karena itu integritas, kredibilitas dan nama baik sang influencer figure dipertaruhkan. Sedangkan juru kampanye hanya mengandalkan besaran pengikutnya, tanpa mempertimbangkan integritas dan rekam jejaknya, asalkan mempunyai pendukung maka siapapun bisa menjadi juru kampanye.
Belakangan kita melihat bagaimana gencarnya Jokowi dan Prabowo merekrut para influencer figure menjadi bagian dari barisan mereka. Jokowi berhasil merekrut Rektor Universitas Paramadina yang juga penggagas Gerakan Indonesia Mengajar, Anies Baswedan ikut dalam barisan tim pemenangan. Sementara Prabowo sukses mendaulat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD sebagai ketua tim pemenangan.
Sebagai mana dikatakan di atas, perang kolosal kelas akbar menengah pendukung Jokowi dan Prabowo akan berlangsung keras. Mereka akan bertempur di semua lini, namun lini yang paling mempengaruhi kelas menengah adalah dunia maya, karena mereka adalah kelompok utama pengakses internet di Indonesia. Jadi, arena perang yang benturannya sangat terasa adalah perang di dunia maya (cyber war).
Para pasukan tempur ‘cyber troops, sejatinya adalah kelas menengah, mereka mengakses semua jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Instragram, Youtube, Blog dan berbagai forum citizen jurnalism. Sudah jelas kelas menengah akan terpecah, apabila salah satu kubu Jokowi atau Prabowo berhasil mendapatkan pecahan terbesar dari kelas menengah tersebut, maka akan mempunyai kekuatan alamiah ‘cyber troops’ yang besar pula.
Jika pada Pilpres 2004 dan 2009 perang persepsi ditentukan oleh penetrasi media massa, maka kali ini terjadi pergeseran besar, perang persepsi akan ditentukan oleh penetrasi media sosial. Dengan demikian konklusinya, siapa yang memenangkan pertarungan di media sosial maka akan memenangkan kelas menengah, dan siapa yang memenangkan kelas menengah maka akan memenangkan pilpres. [***]
Mohamad Hailuki
Koordinator PUSLABPOL