Kabinet Silang Pendapat

APA yang menjadi kekhawatiran sebagian kalangan terhadap performa Kabinet Kerja rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla terbukti, dua bulan sejak kabinet ini diresmikan langsung tampak ketidakkompakan di antara para menteri dalam berbagai isu strategis dan sensitif.

Tidak sedikit yang meragukan profesionalitas Kabinet Kerja, selain melihat rekam jejak para menteri juga konfigurasi komposisi mazhab politik yang dianutnya. Para menteri entah disadari atau tidak, menyajikan perdebatan terbuka di ruang publik sehingga berdampak pada munculnya kesimpangsiuran informasi masyarakat tentang kebijakan yang akan diambil pemerintah.

Perdebatan terbuka pertama Kabinet Kerja adalah menyangkut sumber pendanaan Kartu Indonesia Sehat (KIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang diluncurkan Presiden Jokowi tak lama setelah kabinet diumumkan. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) menyatakan pembiayaan program tersebut bersumber dari dana tanggung jawab sosial sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), “Itu kan sudah jalan, tapi itu kan bantuan dari berbagai pihak. Itu CSR dari BUMN, tidak masuk APBN,” ujar Pratikno, di Makassar,  (5/11/2014).

Namun pernyataan Pratikno itu langsung dibantah oleh Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek yang menegaskan anggaran Kartu Indonesia Sehat (KIS) bukan berasal dari dana bantuan sosial (bansos) melainkan bersumber dari Badan Penyelenggara Jaminas Sosial (BPJS). Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa juga membantah pernyataan mensesneg, Khofifah menegaskan, sumber dana kartu sakti tersebut bukan bersumber dari CSR. “Ini tidak ada CSR, ini APBN 2014 dan sudah disetujui DPR. Kalau KIS cek saja APBN 2014 di Kementerian Kesehatan, KIP cek APBN di Kementerian Pendidikan,” kata Khofifah di Gedung Konvensi Taman Makam Pahlawan Nasional Utama (TMPNU) Kalibata, Jakarta (8/11/2014).

Perdebatan terbuka kedua adalah terkait pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP), wacana ini pertama kali digulirkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo yang menyebutkan, warga Negara Indonesia (WNI) penganut kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh Pemerintah boleh mengosongi kolom Agama di Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). “Itu kepercayaan, sementara kosong, sedang dinegosiasikan. Kami akan segera ketemu Menteri Agama untuk membahas ini. Pemerintah tidak ingin ikut campur pada WNI yang memeluk keyakinannya sepanjang itu tidak menyesatkan dan mengganggu ketertiban umum,” kata Tjahjo di Kemendagri Jakarta (6/11/2014).

Sontak saja wacana itu menuai kontroversi dan perdebatan, sehingga memaksa Menteri Agama  Lukman Hakim Saefuddin untuk angkat bicara menyatakan ketidaksetujuan terhadap rencana kebijakan Kemendagri tersebut.  “Saya pikir tidak dimungkinkan, bagaimana pun juga itu sesuatu yang niscaya yang tidak bisa tidak ada sebagai identitas WNI yang berdasarkan Pancasila. Agama tetap, bagaimana pun agama merupakan identitas dari seluruh warga negara,” kata Lukman, di Kantor Kementerian Agama, Senin (10/11/2014).

Perdebatan ketiga di antara Kabinet Kerja melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel terkait kebijakan impor garam. Bahkan dengan bangganya Susi mengumumkan telah ‘melabrak’ Gobel dalam rapat kabinet, “Saya bilang ke Pak Gobel, saya pindahkan portofolio petani garam ke bapak (Kementerian Perdagangan). Uang saya, saya pakai untuk yang lain. Saya habis dana miliaran rupiah untuk membina mereka (petani garam). Namun, begitu garam impor masuk, matilah mereka,” ujar Susi, Selasa (11/11/2014).

Kontan saja pernyataan Susi membuat wajah Gobel ‘merah padam’, namun dia menanggapinya secara halus dengan cara mengatakan pihaknya tengah berupaya mengharmonisasikan berbagai kabijakan perdagangan internasional. Masalah garam ini kan banyak orang tidak tahu. Ada garam konsumsi, ada garam untuk industri yang digunakan untuk pengeboran minyak. Makanya ketika ada garam impor, orang berpikir itu garam konsumsi. Padahal yang diimpor garam industri. Nah ini salah satu yang sedang saya kerjakan,” jelasnya di kantor Kementerian Perdagangan, (20/11/2014).

Belum reda perdebatan tentang hal-hal di atas, Mendagri Tjahjo Kumolo kembali membuat kegaduhan di Kabinet Kerja melalui isu penghentian program KTP elektronik (e-KTP) lantaran ditemukannya beberapa kejanggalan terkait program tersebut, salah satunya adalah lokasi server yang berada di luar negeri. “Kami minta dua bulan ini stop, sistemnya harus dievaluasi, cek kembali, diamankan kembali. Nanti (Januari 2105) akan di-update kembali. Walaupun kuncinya ada di Indonesia, tapi kalau server itu di luar maka faktor keamanan, faktor kerahasiaan negara tidak terjamin.”

Publik kembali terperangah, isu lokasi keberadaan server e-KTP di luar negeri membuat masyarakat terheran-heran, bagaimana mungkin data base kependudukan Indonesia yang notabene data rahasia malah disimpan di luar negeri. Setelah menjadi perbincangan umum, akhirnya bantahan muncul dari internal Kemendagri sendiri, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi Riatmaji memastikan server e-KTP tidak berada di luar negeri seperti yang dikatakan atasannya. “Server itu ada di Kementerian Dalam Negeri. Bisa dicek, server yang di luar negeri itu tidak ada,” ujarnya (17/11/2014).

Bantahan serupa disampaikan, Peneliti senior Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Marzan Aziz Iskandar yang menyatakan dengan mempertimbangkan aspek keamanan dan kedaulatan data kependudukan server KTP elektronik tidak berada di luar negeri. “Setahu saya, server data center yang utama di Kemendagri. Kemudian recovery-nya server di Batam, jadi menggunakan otoritas Batam,” terangnya, (17/11/2014).

Setelah keluarnya bantahan dari Kapuspen Kemendagri dan peneliti BPPT kesiumpangsiuran tentang lokasi keberadaan serven e-KTP di luar negeri pun mereda, kendati demikian berbagai kontroversi kerap terjadi sehingga tampaknya publik mulai jengah melihat ketidakkompakan Kabinet Kerja dalam merumuskan kebijakan-kebijakan.

Pelayan Rakyat
Dalam terminologi politik pemerintahan, kabinet merupakan lembaga pembuat kebijakan negara, dimana kebijakan tersebut dibuat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Kebijakan juga dapat dipandang sebagai wujud otoritas pemerintah dalam mengatur kehidupan warga negaranya. Pakar kebijakan publik Thomas Dye berpendapat, kebijakan negara merupakan pilihan untuk melakukan sesatu atau tidak melakukan sesuatu, dimana keputusan itu dirumuskan oleh para aktor dalam pemerintahan. Artinya pemerintah mempunyai pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat guna mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah.

Tatkala hari-hari rezim Jokowi-JK penuh diwarnai dengan kesimpangsiuran kebijakan sehingga menimbulkan kegaduhan, maka itu bagian dari salah satu cara untuk mencapai tujuan pemerintah. Maka, silang pendapat yang terjadi antara pembantu presiden di ruang publik bisa dipandang sebagai sebuah kesengajaan dan ketidaksengajaan. Kesengajaan untuk menampilkan perbedaan dengan rezim sebelumnya, kesengajaan untuk menunjukkan gaya egaliterian, serta kesengajaan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dan lawan politik terhadap tujuan lain yang sedang hendak dicapai pemerintah. Namun bisa juga persilangan pendapat yang ada merupakan ketidaksengajaan sebagai akibat dari lemahnya manajerial ‘top executive’.

Apapun itu, kalangan politisi yang berseberangan dengan pemerintah secara mudah menilai silang pendapat antar menteri di ruang publik merupakan wujud ketidakkompakan dan buruknya koordinasi Kabinet Kerja. Sebuah kebijakan yang belum matang, setengah matang bahkan masih mentah secara terlalu mudah diumbar ke masyarakat, sehingga berakibat perdebatan yang semestinya terjadi di dalam forum rapat kabinet berpindah ke ruang publik.

Adalah tabu pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengumbar perbedaan sikap para menteri secara terbuka, namun pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri, perbedaan para menteri sikap dipandang sebagai hal biasa dalam era Reformasi. Jika Presiden Jokowi memilih merujuk kepada Presiden Gus Dur dan Presiden Megawati maka energi kabinet akan habis untuk berdebat tentang perumusan kebijakan publik di ruang terbuka, namun bila Presiden Jokowi merujuk kepada  Presiden SBY maka perdebatan cukup dilakukan di ruang tertutup dalam rapat kabinet lalu habiskan energi untuk mengeksekusi program di ruang terbuka.

Ibarat rumah makan, pelanggan tidak perlu tahu bagaimana berantakannya dapur dan rumitnya meracik makanan, pelanggan cukup langsung memesan dan menikmati hidangan yang disajikan. Jika pelanggan tidak puas terhadap masakan, maka bisa menyampaikan kekurangannya kepada kepala pelayan atau langsung kepada sang pemilik rumah makan, namun apabila pelanggan menilai masakan tersebut lezat maka tanpa keraguan dia akan menjadi pelanggan setia. Itulah hakikat pelayan rakyat. [***]

Mohamad Hailuki

Koordinator Puslabpol

Leave a Reply