DEMOKRASI adalah masa depan sistem politik Indonesia, demikian keyakinan yang disampaikan Sang Proklamator Mohammad Hatta dalam buku “Demokrasi Kita”. Kepercayaan yang mendalam kepada prinsip demokrasi inilah yang menempatkan Hatta pada posisi yang berseberangan dengan Presiden Sukarno sehingga berujung pecahnya Dwitunggal ditandai dengan pengunduran diri Hatta sebagai wakil presiden. Setelah Demokrasi Terpimpin runtuh, Hatta menaruh harapan kepada Orde Baru untuk dapat mewujudkan demokratisasi, namun ternyata jauh panggang daripada api, kepemimpinan Presiden Soeharto justru membuat Indonesia semakin jauh dari jalan demokrasi yang diimpikan Hatta.
Menurut Bung Hatta, agar Indonesia dapat mencapai masyarakat yang adil dan makmur, maka tidak hanya bisa diraih dengan jalan demokrasi di bidang politik saja, melainkan juga demokrasi di bidang ekonomi. Demokrasi yang dirumuskan Hatta sejak awal mendedikasikan tidak hanya demokrasi dalam kehidupan politik melainkan juga demokrasi ekonomi, yaitu konsep ekonomi kerakyatan dengan asas tolong-menolong, dimana dengan usaha kolektivisme maka kehidupan perekonomian rakyat akan menjadi semakin sejahtera.
Bagi Hatta, asas persamaan dan kebebasan yang didengungkan demokrasi liberal tidak akan pernah terwujud apabila terjadi ketimpangan ekonomi antara rakyat yang kaya dan miskin. Karena berdasar fitrahnya, manusia yang kaya akan cenderung menguasai atau mengendalikan manusia yang miskin, maka sejatinya tidak ada kebebasan dalam Demokrasi Liberal karena realitanya kaum miskin dikendalikan oleh kaum borjuis. Begitu pula tak ada persamaan dalam Demokrasi Liberal karena pada kenyataannya, terdapat ketimpangan dan kesenjangan kehidupan antara rakyat miskin dengan mereka yang memiliki kecukupan materi.
Atas dasar itulah, Hatta merumuskan konsep Demokrasi Sosial yang menempatkan persamaan hak politik dan ekonomi rakyat sebagai sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Perwujudan dari demokrasi politik adalah kebebasan berserikat dan berkumpul mendirikan partai politik, adapun manifestasi dari demokrasi ekonomi adalah pembentukan koperasi sebagai alat usaha bersama. Dalam koperasi menurut Hatta tercermin sikap gotong royong dan tolong menolong, sehingga semakin banyak rakyat yang berkoperasi, maka akan semakin banyak yang sejahtera. Dengan kata lain, perekonomian Indonesia harus bisa menjadi penopang Demokrasi Sosial yaitu dengan cara membangun usaha bersama dalam mengelola keperluan umum guna mencapai kemakmuran bersama.
Demokrasi Salah Arah
Melalui Gerakan Reformasi 1998, rakyat melakukan perlawanan menumbangkan Orde Baru dan kembali memulai demokratisasi di segala sendi kehidupan. Berbagai perubahan dilakukan terkait dengan kehidupan demokrasi di Indonesia guna mencegah lahirnya kembali otoritarian di masa depan, beberapa pembenahan itu seperti kebebasan mendirikan partai politik dan lembaga swadaya masyarakat, kebebasan pers, penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) yang bebas, mundurnya kalangan militer dari panggung politik, kekuasaan presiden dibatasi maksimal dua masa jabatan, pemilihan presiden (Pilpres) dan kepala daerah (pilkada) secara langsung, pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, dengan dalih demokratisasi kepentingan internasional masuk dengan dibarengi mengguritanya demokrasi pasar (neo-liberalisme) diseluruh sektor perekonomian Indonesia. Demokrasi pasar sejatinya dibawa oleh berbagai lembaga-lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank, dimana kedua lembaga tersebut membawa misi liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi, masuk ke setiap penjuru negara dengan memanfaatkan celah-celah instabilitas politik di Indonesia yang sedang mengalami proses transisi demokrasi (Martin, 2010).
Maka tak heran, selama 17 tahun sejak Era Reformasi bergulir, Indonesia melakukan transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi, namun dalam prakteknya arah demokratisasi di Indonesia dihadapkan kepada sebuah fenomena distorsi, dimana demokrasi menjadi semakin ‘mahal’ dan rakyat menjadi semakin pragmatis transaksional yang popular dengan istilah Demokrasi Wani Piro?” Praktek demokrasi dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada diwarnai oleh politik uang yang sangat mahal dan tidak efisien sehingga melahirkan para pemimpin politik kaya kapital finansial namun miskin gagasan dan bermental pemburu rente (rent seeker).
Perkembangan demokrasi politik di Era Reformasi ternyata tidak diikuti dengan demokrasi ekonomi yang dibayangkan Hatta, justru perekonomian Indonesia makin bergerak ke arah fundamentalisme pasar atau dikenal dengan istilah Neo-Liberal. Koperasi-koperasi rakyat satu per satu bergelimpangan digulung oleh oligopoli perusahaan-perusahaan besar, BUMN satu per satu mulai dijual kepada perusahaan asing, persaingan bebas dalam segala sendi kehidupan ekonomi, mulai dari industri padat modal dan teknologi hingga sektor ‘warung kelontong’ dikuasai oleh perusahaan asing seperti kehadiran Alfamart, Indomart, dan Seven Eleven. Dikarenakan tidak memiliki perekonomian yang kuat, akibatnya rakyat tidak memiliki kedaulatan hakiki dalam melakukan partisipasi politik, kebebasan bersikap dan bersuara yang ada sejatinya dikendalikan oleh para pemegang modal.
Kebebasan pers yang semestinya menyuarakan kepentingan rakyat, pada prakteknya malah menyuarakan kepentingan oligarki kekuasaan, karena media massa yang ada menjadi partisan sebagai konsekuensi logis dari kepemilikan oleh politisi dan kekuatan politik tertentu selaku pemilik modal. Secara kasat mata seolah rakyat berdaulat, namun karena kesejahteraan yang minim, rakyat menggadaikan kedaulatannya kepada elite politik dengan cara transaksi jual beli suara pada saat Pemilu, Pilres dan Pilkada.
Pada level demokrasi ekonomi, Atilio Boron (2009) mengatakan, pemerintah yang berkuasa dimandatkan untuk menghapus keistimewaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang atas sumber daya ekonomi, dan membuka akses yang luas kepada mayoritas untuk mengontrol dan mengendalikan sumberdaya ekonomi yang terbatas itu.
Pada kondisi hari ini, sumber daya ekonomi ternyata masih dikuasai oleh sekelompok kecil pengusaha yang mana kelompok-kelompok usaha tersebut membangun afiliasi dengan kelompok politik tertentu seperti James Riady (Grup Lippo) yang dekat dengan PDI Perjuangan, dan bahkan ada kelompok bisnis yang ikut menjadi pengendali dari partai politik tertentu seperti Aburizal Bakrie (Grup Bakrie) sebagai ketua umum Partai Golkar, Jusuf Kalla (Grup Hadji Kalla) pernah menjadi ketua umum Partai Golkar, Surya Paloh (Grup Media) menjadi ketua umum Partai NasDem, Rusdi Kirana (Grup Lion Air) menjadi wakil ketua umum PKB, Hary Tanoe (Grup MNC) yang pernah bergabung ke Partai NasDem dan Hanura kemudian mendirikan Partai Perindo, Hashim Djojohadikusumo (Grup Arsari) dan Sandiaga Uno (Grup Recapital) menjadi wakil ketua umum Partai Gerindra.
Koperasi yang dicita-citakan Bung Hatta menjadi sokoguru perekonomian Indonesia belum terwujud, dalam prakteknya koperasi hanya menjadi pelengkap ekonomi kerakyatan secara simbolis. Kalangan perbankan lebih cenderung memudahkan pemberian modal usaha kepada kelompok usaha besar daripada koperasi, sehingga akibatnya tidak ada satupun koperasi yang mampu menjadi perusahaan besar. Masih sangat jauh dari bayangan jika koperasi bisa menjadi lembaga multi nasional seperti perusahaan-perusahaan swasta.
Menuju Demokrasi Sosial
Untuk dapat meluruskan arah demokrasi di Indonesia terlebih dulu harus mengetahui pada bagian mana ada instrumen demokrasi yang tidak lurus. Apabila kita berbicara tentang demokrasi maka kita akan berbicara tentang regulasi dan aturan main, karena itulah yang membedakan kebebasan demokrasi dan anarki. Aturan main bagi demokrasi tertuang dalam wujud berbagai undang-undang dan peraturan, salah satu yang utama adalah paket undang-undang politik meliputi Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dan Undang-Undang Pemilukada. Keseluruhan aturan paket undang-undang politik harus dikembalikan kepada nilai demokrasi yang utama yaitu keadilan, sebagaimana yang dikatakan Hatta bahwa Demokrasi Sosial di satu sisi memberikan kebebasan dan di sisi lain menjamin keadilan sosial.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah meneguhkan kembali komitmen elite-elite politik reformis khususnya yang ada di dalam partai politik untuk melakukan konsolidasi demokrasi sesuai nilai-nilai Demokrasi Sosial. Komitmen juga dilakukan guna mencegah Gerakan Kontra-reformasi yang hendak mengembalikan bangkitnya nilai-nilai lama yang merusakan sendi berbangsa dan bernegara. Elite politik reformasi harus komit menuntaskan agenda Gerakan Reformasi yang utama yaitu menjalankan penegakan hukum dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme agar dapat mencegah dan meminimalisir praktek perburuan rente (rent seeking) oleh para elite politik.
Kemudian kedua, yang harus dilakukan adalah kembali membenahi partai politik, terkait sumber pendanaannya yang harus diarahkan kepada peningkatan partisipasi masyarakat, bukan mengandalkan sekelompok pengusaha atau oligarki kekuasaan yang pada akhirnya menyebabkan praktek perburuan rente (rent seeking) semakin subur. Misalnya dengan membuat aturan bahwa partai politik harus melakukan audit keuangan secara terbuka dengan menyertakan laporan tertulis bukti iuran dana para anggota, bagi parpol yang tidak mematuhinya dikenakan sanksi keras tidak diperbolehkan mengikuti pemilu.
Aturan ini akan memaksa parpol menggalang dana secara iuran dari kader-kader dan anggota tanpa harus melakukan transaksi politik dengan kelompok kepentingan pemilik modal. Partai politik merupakan instrumen utama dalam demokrasi yang harus dibenahi dan disehatkan, karena partai politik adalah satu-satunya entitas yang diberikan kewenangan untuk menempatkan anggota-anggotanya untuk mengelola kekuasaan dengan cara membuat regulasi di parlemen maupun di eksekutif. Diharapkan regulasi yang dihasilkan terseut bersendikan prinsip-prinsip Demokrasi Sosial.
Sanjutnya ketiga, penguatan Civil Society (masyarakat sipil) dilakukan secara berkesinambungan, partisipasi politik otonom masyarakat harus terus didorong agar pengawasan publik terhadap pembuatan dan pelaksaan kebijakan politik semakin ketat. Dengan pengawasan yang intensif maka para politisi di parlemen dan eksekutif tidak akan sembarangan dalam membuat kebijakan. Karena pondasi dari bangunan demokrasi adalah kebebasan yang mewujud dalam pemilihan umum yang bebas, kebebasan berserikat, kebebasan pers, kebebasan berbicara. Salah satu pilar demokrasi adalah masyarakat sipil (civil society), yaitu sebuah jenis masyarakat yang atas kesadarannya sendiri ikut melibatkan diri berpartisipasi melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintahan yang dijalankan oleh tiga pilar demokrasi lainnya.
Larry Diamond (1994) mengatakan, anggota masyarakat semacam ini merupakan anggota masyarakat pada umumnya, mereka terdiri dari berbagai lapisan dan profesi yang ada di masyarakat seperti ibu rumah tangga, mahasiswa, pegawai kantoran, akademisi, pemuka agama, seniman, pengacara, guru dan pedagang. Mereka berkumpul dengan tujuan utama adalah mewujudkan dan menjaga kehidupan yang demokratis. salah satu contoh Civil Society adalah berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang ada saat ini di Indonesia seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparansi Internasional Indonesia (TII), Forum Indonesia untuk Reformasi Anggaran (FITRA), Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi), Setara Institute.
Selain LSM contoh lain Civil Society adalah berbagai lembaga bantuan hukum (LBH) Jakarta, Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Jakarta Lawyer Club (JLC). Organisasi profesi dan keahlian seperti Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) juga bagian dari masyarakat sipil yang memiliki peranan mengawasi agar perkembangan demokrasi tetap berada pada jalurnya.
Dan langkah keempat, adalah penguatan koperasi sebagai wujud usaha bersama masyarakat. Prinsip yang harus disepakati bersama adalah apabila masyarakat sejahtera maka negara akan stabil dan semakin kuat, dan sebaliknya negara akan mengalami ketidakstabilan bilamana masyarakatnya hidup serba kekurangan dan dihimpit berbagai kesulitan. Cara efektif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah melalui pembentukan koperasi di berbagai sektor usaha yang sudah dikelola oleh BUMN, begitu pula kalangan swasta nasional dituntut untuk mempunyai koperasi yang dibina sesuai bidang usahanya. Setiap BUMN dan swasta nasional memiliki tanggung jawab untuk membesarkan koperasi, bagi yang tidak melakukannya dikenakan sanksi ekonomi berupa pungutan pajak berlipat, sedangkan bagi yang mematuhinya diberikan keringanan pajak. Ibarat kebun buah, koperasi merupakan kebun milik rakyat yang buahnya bisa dinikmati oleh rakyat sebagai pemiliknya.
Apabila empat langkah tersebut dilakukan maka demokrasi Indonesia yang salah arah akan dapat diluruskan kembali menuju jalan Demokrasi Sosial yang digagas Hatta. Semoga. [***]
Mohamad Hailuki
Koordinator Puslabpol
[…] Apabila empat langkah tersebut dilakukan maka demokrasi Indonesia yang salah arah akan dapat diluruskan kembali menuju jalan Demokrasi Sosial yang digagas Hatta. Semoga. Ditulis oleh: M.A Hailuki Sumber: puslabpol.com […]