Menuju Konsolidasi Demokrasi

SUDAH menjadi suratan takdir bangsa ini harus melalui jatuh bangun beberapa pemerintahan. Lima tahun masa euforia era reformasi, demokrasi Indonesia mesih jauh dari kondisi stabil. Kepemimpinan sipil saat itu belum mampu menghadirkan stabilitas politik yang permanen, sehingga akhirnya rakyat kembali menitipkan kepemimpinan nasional kepada figur berlatar tentara.

“Ku Yakin Sampai Di Sana” adalah salah satu lagu termasyur yang pernah diciptakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama sepuluh tahun memimpin Indonesia sejak 2004 hingga 2014. Jika menilik syairnya, lagu itu merupakan gambaran hati sekaligus doa agar SBY mendapatkan keselamatan dalam mengemban amanat bangsa.

Ternyata doa tersebut terkabulkan, putra Pacitan itu berhasil melabuhkan bahtera republik ke tepian peradaban setelah melewati berbagai ombak dan badai. Mewarisi kondisi negara yang tidak ideal di masa awal Reformasi pasca kepemimpinan Presiden Gus Dur & Presiden Megawati bukanlah barang indah dan pekerjaan mudah.

Misi utama SBY saat itu adalah mengawal agenda Reformasi dan melakukan konsolidasi demokrasi. Berbagai tantangan besar mesti dihadapi di semua lini, mulai dari persoalan disintegrasi, terorisme, embargo senjata, hutang IMF hingga bencana alam.

Periode pertama pemerintahan SBY yang dibantu Wakil Presiden Jusuf Kalla, diawali dengan membangun semangat optimisme melalui semboyan “Bersama Kita Bisa” yang bertujuan menggalang kebersamaan untuk bergandengan tangan, bahu-membahu, bergotong-royong menata kehidupan dan melakukan perbaikan.

Beberapa prasasti kinerja SBY pada periode 2004-2009 tercatat apik, antara lain menjaga keutuhan NKRI melalui perjanjian damai Helsinki yang mengakhiri konflik bersenjata di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), tak ada lagi pertumpagan darah, perdamaian yang sekian lama sirna kini bertahta di Serambi Mekah.

Pada periode ini pula SBY membuat kebijakan heroik memutus hubungan dengan International Monetary Fund (IMF) dan membayar lunas hutang Indonesia sebesar US$ 7,8 miliar ke lembaga internasional yang diyakini sebagai salah satu penyebab krisis ekonomi pada 1997-1998. Langkah SBY membebaskan Indonesia dari jerat hutang IMF patut diacungi jempol meski tak serta merta menyelesaikan hutang luar negeri Indonesia.

Pengucuran program Bantuan Langsung Tunai (BLT) & Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang merupakan kompensasi atas penaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan langkah jitu SBY meredusir beban masyarakat kecil. Meski dihujani berbagai kritik, suka tidak suka berkat kedua program ini SBY menjadi semakin populer dan berhasil mengantarkan kepada periode kedua kepemimpinannya pada Pilpres 2009.

Filosofi ‘ikan, pancing & perahu’ yang diberikan pemerintahan SBY untuk masyarakat berlanjut pada periode 2009-2014. Bersama Wakil Presiden Boediono, SBY mengumandangkan slogan “Lanjutkan!” sebagai wujud optimistis dalam melanjutkan pembangunan jangka menengah. Berbagai megaproyek infrastruktur dikebut guna terwujud percepatan pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia, semisal pembangunan jalan layang kelok sembilan, bandara internasional, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dan jalan tol laut Bali Mandara.

Tak hanya infrastruktur, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi prioritas bagi pemerintahan SBY-Boediono. Sebagaimana diamanatkan UUD 45, SBY berhasil memenuhi alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tidak hanya pendidikan formal melainkan juga pendidikan karakter berbasis budi pekerti diseriusi SBY melalui pengumandangan program revitalisasi Gerakan Pramuka.

Dalam hal penegakan hukum, sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) menganulir peraturan izin pemeriksaan pejabat negara, selama dua periode kepemimpinannya, SBY menunjukkan komitmen pemberantasan korupsi dengan menerbitkan izin pemeriksaan 277 pejabat tinggi negara, dimana 176 diantaranya adalah kepala daerah tanpa melihat latar belakang partai politiknya.

Komitmen pemberantasan korupsi dibuktikan juga oleh SBY saat menengahi perselisihan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri terkait kasus ‘Cicak Ve Buaya’. Secara tegas, SBY menyatakan keberpihakannya kepada KPK untuk mengusut tuntas kasus korupsi di tubuh Koprs Bhayangkara & menyeret sejumlah jenderal korup ke dalam penjara.

Yang tak kalah penting, prasati kinerja lainnya adalah modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) dan profesionalitas Tentara Nasional Indonesia (TNI). SBY berhasil membebaskan TNI dari embargo senjata Amerika Serikat (AS) sekaligus memperkuat industri pertahanan dalam negeri. Guna memenuhi Minimum Essential Force (MEF) dan meningkatkan bobot Indonesia di mata internasional khususnya kawasan Asia Pasifik, SBY mengadakan peremajaan besar-besaran persenjataan meliputi tiga matra darat, laut & udara.

Tradisi Baru

Selain mewariskan berbagai kebijakan di atas, SBY juga meninggalkan beberapa tradisi baru bagi prilaku pemerintahan dan demokrasi Indonesia. Tradisi baru itu antara lain uji kelayakan dan kepatutan terhadap para calon menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan II di kediaman pribadi SBY di Cikeas, Bogor.

Para calon menteri tak hanya menjalani proses interview, melainkan juga menjalani rangkain tes kesehatan dan uji psikologi. Meski merupakan hak prerogatif sebagai presiden, namun SBY tak menutup pintu terhadap masukan masyarakat terkait integritas para calon menteri tersebut. Uji kelayakan dan kepatutan yang oleh kalangan pers dijuluki sebagai ‘Cikeas Idol’ itu menjadi pola baru dalam perekrutan menteri yang di era sebelumnya berlangsung dalam ruang gelap.

Warisan SBY lainnya adalah komunikasi langsung antara Presiden RI dengan rakyat melalui berbagai saluran komunikasi mulai dari PO. BOX, SMS hingga wahana media sosial seperti Youtube, Facebook dan Twitter. Tak ada lagi sekat antara presiden dan rakyat, meski lalu lintas percakapan di media sosial tidak interaktif, namun keputusan SBY bergabung di jejaring sosial mencatatkan dirinya sebagai presiden RI pertama yang memiliki akun media sosial.

Politik pencitraan yang kerap dituduhkan kepada SBY melahirkan tradisi demokrasi baru, pada 2004 SBY merupakan salah satu politisi pertama yang mempercayai fungsi survei kuantitatif sebagai instrumen politik. Tidak hanya untuk memenangkan Pilpres, melainkan juga guna mengukur efektivitas dan memonitor kepuasan publik terhadap kebijakan pemerintah. Sebagai jenderal ahli strategi, SBY melangkah secara terukur dan mengkalkulasi secara presisi, selama kepemimpinan SBY survei politik mewujud menjadi industri baru dalam kehidupan demokrasi.

Di ujung kekuasaannya, SBY menciptakan tradisi baru berupa pelembagaan sikap kenegarawanan pemimpin nasional dalam wujud pisah sambut Presiden RI di Istana Negara. Didasarkan pada kenyataan sejarah presiden pendahulu dan penerus yang kerap ‘berjarak’ maka SBY berinisiatif memprakarsai tradisi baru tersebut. Ini merupakan ikhtiar dan itikad baik untuk membangun budaya demokrasi yang lebih elegan dan indah, karena sejatinya rakyat bahagia dan senang bilamana melihat para pemimpinnya berangkulan dan bergandengan tangan.

Lazimnya manusia, sudah tentu SBY tak sempurna, di balik segala prestasinya, berbagai kekurangan yang ada pada dirinya merupakan fitrah, dan kekurangan yang ada pada masa kepemimpinannya merupakan catatan sejarah. Biarkan rakyat menilai dan mengingat apa-apa yang telah diberikan SBY bagi negeri ini sebagaimana syair yang digubahnya, “Telah kupilih jalanku sendiri, dalam prinsip kehidupanku, meski tak selalu akan indah, aku yakin sampai di sana.” [***]

Mohamad Hailuki

Koordinator Puslabpol

Leave a Reply