BUKAN maksud ingin mengalihkan perhatian negeri ini dari berbagai persoalan politik dan ekonomi yang sedang dihadapi. Bukan pula bertujuan untuk keluar menarik diri dari hingar bingar kontestasi pemilihan kepala daerah yang ada di depan mata. Melainkan tulisan ini semata-mata untuk mengajak kita semua menaruh perhatian terhadap persoalan penting dan bahkan teramat penting bagi integrasi nasional Indonesia, yaitu Papua.
Media massa nasional memberitakan, asrama mahasiswa Papua di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta belum lama ini dikepung oleh ratusan massa dari organisasi kepemudaan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri (FKPPI), Pemuda Pancasila, Paksi Katon dan Laskar Jogja. Beruntung aparat keamanan berhasil mencegah terjadinya bentrokan fisik antara dua kelompok yang tidak seimbang tersebut.
Namun, pengepungan selama dua hari itu membuat para mahasiswa Papua kelaparan, sehingga menarik simpati warga Yogyakarta yang terkenal santun serta murah hati untuk menolong memberikan makan kepada mahasiswa tersebut. Rasa kemanusiaan pada fitrahnya tidak bisa dikalahkan oleh perbedaan pandangan politik, meski warga sekitar belum tentu sepakat dengan misi perjuangan mahasiswa Papua, namun mereka tetap peduli terhadap sesama.
Keinginan mahasiswa Papua yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) pada hari Jumat, 15 Juli 2016, untuk menyelenggarakan aksi damai jalan bersama dari asrama di Jalan Kusumanegara menuju persimpangan Jalan Panembahan Senopati sebagai bentuk dukungan terhadap United Liberation Movement for West Papu (ULMWP) memang gagal dilakukan, namun apakah itu dengan sendirinya akan bisa menghapus cita-cita mereka? Tidak!
Karena cita-cita pembebasan Papua tetap bersemayam dalam sanubari mereka, tetap menggelayut dalam benak pikiran mereka, dan tetap berhembus dalam setiap tarikan nafas mereka. Raga bisa dikerangkeng, namun jiwa tak bisa dipenjara. Lalu bagaimana menyikapinya? Bukan dengan jalan bentrok fisik, bukan pula dengan jalan intimidasi untuk meredakannya, melainkan dengan jalan yang paling asasi bagi semua manusia, yaitu bicara. Ya, bicara!
Ketel Uap Kebangsaan
Dalam setiap bangsa manapun, selalu ada kelompok radikal yang menjadi motor bagi perubahan masyarakat. Biasanya, golongan itu adalah mahasiswa dan pemuda, maka janganlah heran apabila mahasiswa Papua melakukan gerakan radikal menyuarakan aspirasi mereka, karena memang tabiat mahasiswa seperti itu. Mahasiswa adalah kelompok yang telah tercerahkan dibanding masyarakat pada umumnya, mereka tercerahkan oleh informasi, gagasan dan pemikiran.
Dengan pencerahan itulah mahasiswa memiliki kesadaran atas keadaan yang dihadapinya, sebagaimana cerita pergerakan Indonesia pada masa kolonial yang dimulai dari kesadaran kaum terdidik, para mahasiswa yang secara radikal memilih sikap non-cooperation. Pada 1913 ketika sejumlah mahasiswa Indonesia di Belanda seperti Soewardi Soerjaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo menggelorakan semangat perlawanan sampai kepada puncaknya tatkala Mohammad Hatta membacakan pidato pembelaan berjudul “Indonesia Merdeka” di muka pengadilan Belanda pada 1928, dua tahun sebelum Soekarno membuat pledoi berjudul “Indonesia Menggugat” di Bandung pada 1930.
Dalam pidato “Indonesia Merdeka”, Bung Hatta menguraikan, alasan mendasar yang menjadi pendorong mengapa mahasiswa Indonesia harus terjun ke arena politik menyuarakan kemerdekaan adalah karena rasa terhina sebagai bangsa jajahan. Menurutnya, mahasiswa lah yang paling merasakan keterhinaan itu dalam pergaulan antar bangsa, maka wajar kiranya bila mahasiswa mengambil langkah radikal dibanding masyarakat Bumi Poetra biasa.
Bagi Bung Hatta, kemerdekaan Indonesia adalah kepastian yang akan datang cepat atau lambat. Sebagai mahasiswa yang memiliki kemampuan intelektual dibanding rakyat biasa wajib untuk terus menyuarakannya baik lisan maupun tulian, lewat mimbar ataupun pena. Di depan majelis hakim, Bung Hatta mengajukan konsep yang dinamakannya Ketel Uap Kebangsaan”, yaitu sebuah analogi dimana ketel merupakan wadah perjuangan berisi air kebangsaan yang mendidih karena terpanggang oleh api ketidakadilan penjajah.
Kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi suatu penyalur yang mencegah tekanan yang terlalu tinggi dalam ketel uap kebangsaan. Jika penyalur itu dengan sewenang-wenang dihilangkan oleh pemerintah sendiri, maka ketel itu pasti akan meledak, dan hal itu akan terjadi pada saat ketika orang sama sekali tidak menduganya,” ujar Hatta.
Ketika mahasiswa tidak diberi ruang untuk berpendapat maka tinggal tunggu waktu ledak besar yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Ini bukan ancaman, melainkan konsekuensi logis sebuah perenungan jernih dari hati yang bersih. Gambaran sekilas sejarah pergerakan nasional ini bisa kita jadikan rujukan untuk memahami gerakan radikal yang dipilih mahasiswa.
Tenun Emas Nusantara
Sering kali kita terlalu curiga dalam menyikapi suara kritis saudara kita dari Papua, segala yang mereka pekikkan selalu dianggap sebagai sebuah gerakan separatis. Hati kecil saya mendorong untuk menyuarakan tentang ini, karena Papua adalah diri kita sendiri. Sejak zaman kolonial, tanah Papua menjadi tempat buangan para pejuang revolusioner negeri ini. Sebelum Bung Hatta dan Sjahrir menginjakkan kaki sebagai interniran, di Papua telah lebih dulu terdapat beberapa tokoh pergerakan dibuang ke sana.
Dari Tanah Merah, Boven Digul, Papua pucuk-pucuk pemikiran kebangsaan Bung Hatta dan Sjahrih semakin merekah, tunas peradaban disemai bertahun-tahun lamanya, tak surut semangat juang walau selangkah. Papua menjadi salah satu suar perjuangan kemerdekaan Indonesia, jutaan rakyat di Pulau Jawa dan Sumatera menanti-nanti setiap tulian yang dikirimkan Bung Hatta dan Sjahrir lewat berbagi surat kabar. Dari Papua semangat persatuan kebangsaan semakin me-Nusantara, itulah mengapa Papua adalah kita.
Meminjam analogi Anis Baswedan, Indonesia ibarat sebuah kain tenun yang dirajut dari benang yang bhineka. Izinkan saya menambahkan, Papua adalah benang emas yang menghias rajutan tenun Nusantara itu, benang emas yang bukan sekada penghias tapi juga merekatkan keutuhan tenun secara keseluruhan. Letak Papua yang berada di ujung Timur merupakan sebuah hakikat bahwa di sana lah fajar kemerdekaan Indonesia menyingsing, langit kemerahan perjuangan nasional menerangi antero Nusantara.
Ingat, ada sebuah janji kemerdekaan yang harus Indonesia lunasi kepada seluruh rakyat tak terkecuali rakyat Papua, anggapan separatisme sebagai motif utama terhadap gerakan mahasiswa Papua di Yogyakarta harus kita ganti dengan makna berbeda. Pembebasan tidak mesti dimaknai dengan separatisme, memisahkan diri dari NKRI, tapi pembebasan adalah tekad untuk memerdekakan Papua dari ketidakadilan, kenestapaan dan kemelaratan.
Maka dari itu, perlu kiranya pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Papua duduk kembali untuk tidak menganggap sepele persoalan. Status Otonomi Khusus yang diberikan kepada Papua harus dievaluasi agar berdampak positif bagi kesejahteraan serta pencerahan rakyat secara lahir dan batin, perimbangan keuangan yang adil serta pengelolaannya harus terus ditingkatkan sebagai bagian dari keistimewaan Papua.
Karena Papua adalah kita, maka menciderai rakyat Papua berarti melukai rakyat Indonesia. Tak ada Indonesia tanpa Papua. [***]
Mohamad Hailuki
Koordinator Puslabpol