Pelajaran Dari Erdogan

Jika ditanyakan siapa pemimpin negeri Islam yang saat ini paling popular di dunia? Pasti salah satunya adalah Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki. Gebrakannya yang paling menggegerkan dunia adalah mengubah fungsi bangunan bersejarah Hagia Sophia dari museum menjadi masjid.

Kebijakan tersebut mendapat beragam reaksi dari kalangan internasional. Ada yang memuji sebagai simbol kebangkitan Islam, ada pula yang menuding sinis kebijakan pengembalian fungsi Hagia Sophia menjadi masjid sekadar manuver populis untuk memenangkan pemilu dan melanggengkan kekuasaan (Komaruddin Hidayat, 2020).

Terlepas apapun itu, Erdogan berhasil meneguhkan kekuasaannya setelah hampir digulingkan lewat kudeta gagal pada 15 Juli 2016. Selama masa kepemimpinannya, meski masih berada pada garis sekulerisme, Turki perlahan semakin tampil Islami semisal membebaskan pemakaian hijab bagi perempuan Muslim dalam parlemen dan lembaga pendidikan.

Selain itu juga, Erdogan menghidupkan kembali pengajaran Al Quran dan Hadits di sekolah-sekolah negeri. Dalam bidang ekonomi, Ziraat Isamic Bank yang merupakan bank Syariah milih pemerintah Turki didorong pertumbuhannya. Kemudian pada sektor pariwisata dilakukan pembangunan jembatan gantung terbesar di dunia yang berada di pantai laut hitam dengan penerangan sangat besar bertuliskan “Bismillahirrahmanirrahim”.

Turki baru di bawah Erdogan telah melakukan lompatan ekonomi yang besar, dari rangking 111 dunia ke peringkat 16, dengan rata-rata peningkatan 10 % pertahun, yang berarti masuknya Turki kedalam 20 negara besar terkuat (G-20) di dunia. Di tahun 2013, Produk Domestik Nasional Turki mencapai 100 miliar dolar AS. Angka tersebut sama dengan pendapatan gabungan negara-negara yang memiliki ekonomi terkuat di Timur Tengah; yaitu Arab Saudi, Uni Emirat arab, Iran, serta ditambah Yordan, Suriah dan Libanon. Di tahun 2023 dicanangkan Erdogan, Turki menjadi kekuatan utama politik dan ekonomi dunia. 

Defisit anggaran yang mencapai 47 miliar dolar AS berhasil diselesaikan Erdogan. Sebelumnya Turki punya cicilan hutang terakhir ke IMF sebesar 300 juta dolar. Kini justru Turki yang meminjami IMF sebesar 5 milyar dolar. Selain itu, Erdogan juga menambah cadangan devisa negara hingga 100 milyar dolar. Ekspor Turki pada 10 tahun lalu hanya 23 miliar dollar AS, saat ini meningkat menjadi 153 miliar dollar AS dengan sasaran 190 negara.

Upah pekerja di Turki meningkat hingga 300%. Gaji pegawai baru pun mengalami kenaikan, dari 340 Lira Turki menjadi 957 Lira. Tingkat pencari kerja juga menurun dari 38% menjadi hanya 2%, artinya angka pengangguran menurun drastis.   

Ferhat Pirincci (2020) memandang Turki di bawah kepemimpinan Erdogan telah berhasil mengubah kekuatan politik di Kawasan Mediteranian. Menurutnya Turki berhasil membebaskan diri dari kepungan Yunani, Siprus, dan Prancis. Dengan popularitas yang begitu kuat baik di dalam negeri maupun di kawasan, maka Erdogan akan bisa meningkatkan peranan Turki pada tingkat dunia.

Serangkaian Tuduhan 

Meskipun popular, namun bukan berarti Erdogan bersih dari kritik. Terdapat sejumlah tudingan yang dialamatkan kepadanya selama berkuasa. Misalnya skandal rekaman percakapan Erdogan dan Bilal, putranya pada 2013 terkait rencana penyembunyian uang dari dugaan korupsi yang melibatkan tiga kroni menteri, pengusaha dan kepala bank negara.

Skandal ini menyebabkan mundurnya tiga menteri di pemerintahan Erdogan. Ketiga menteri yang mengundurkan diri adalahMenteri Ekonomi Zafer Caglayan, Menteri Dalam Negeri Muammer Guler, dan Menteri Lingkungan dan Perencanaan Kota Erdogan Bayraktar. Erdogan mengecam penyidikan korupsi sebagai rencana kekuatan asing dan dalam negeri untuk menggagalkan perkembangan kemakmuran negaranya dan mendiskreditkan pemerintah menjelang pemilihan lokal.

Tuduhan lainnya, Erdogan dianggap otoriter karena melakukan penutupan paksa terhadap 131 media massa pada 2016. Kebijakan tangan besi tersebut dilakukannya tak lama setelah peristiwa kudeta gagal. Selain itu, Erdogan juga menangkapi lawan-lawan politiknya. Sekira 50 ribu orang telah ditangkap dan 150 ribu lainnya, termasuk guru, hakim dan tantara.

Sebuah Pelajaran

Lalu mengapa Erdogan hingga kini tetap bisa berkuasa? Pertama faktor kebijakan populis tidak dapat dipungkiri amat mempengaruhi kuatnya dukungan mayoritas rakyat Turki. Kedua, konsolidasi kekuatan politik secara efektif. Meskipun bukan penguasa tunggal, namun Erdogan mampu melakukan konsolidasi terhadap basis-basis politiknya termasuk kemampuan mengendalikan militer melalui restrukturisasi. Ketiga, kekuatan kharisma dibarengi dengan kemampuan retorika yang berapi-api Erdogan mengungguli kompetitor-kompetitornya dalam meraih simpati rakyat.

Dengan konfigurasi kekuatan politik yang ada saat ini Erdogan telah berkuasa di Turki selama hampir dua puluh tahun dimana tiga periode sebagai perdana menteri dan satu periode sebagai presiden. Rentang masa kekuasaan Erdogan ini hampir menyamai Vladimir Putin di Rusia yang mampu berkuasa lama hingga dua dekade. 

Kiranya, dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pelanggengan kekuasaan secara demokratis dapat dilakukan oleh seorang pemimpin popular. Dukungan besar yang dimiliki pemimpin popular tersebut bisa menjadi dalil untuk diambilnya tindakan dan kebijakan yang dapat mengonsolidasikan kekuasaan.

Termasuk didalamnya melumpuhkan lawan-lawan politik secara legal dalam arti tindakan yang memiliki legitimasi sehingga berujung tidak sehatnya vitalitas demokrasi sebuah negeri. Jangan sampai itu terjadi, bagaimana pun kekuasaan harus dibatasi. Jika tidak, maka akhirnya demokrasi bisa mati dengan dalih legitimasi. ***

Mohamad Hailuki & Asep Solihudin

Leave a Reply