Perang Asimetris Pilkada DKI

DALAM setiap perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada), sering kali kita terburu-buru melihat hasil survei guna mengetahui siapa kandidat yang paling berpeluang besar akan menang. Ini wajar, karena survei kuantitatif itulah yang bisa dijadikan parameter paling mudah untuk mengukur tingkat keterpilihan sang kandidat, sedangkan analisis kualitatif dianggap lebih subyektif dan mudah bias kepentingan.

Padahal keduanya tidak bisa dipisahkan, karena tanpa narasi kualitatif yang dalam dan utuh, angka-angka yang dihasilkan dalam survei kuantitatif tidak akan berbunyi dan bermakna. Survei hanya angka saja yang bisa berubah setiap saat, maka penting sekali bagi kita untuk memaknai dan menemuka pola dari deretan angka-angka tersebut. Untuk itu saya mencoba melakukan komparasi silang terhadap beberapa survei elektabilitas Pilkada DKI Jakarta yang dilakukan beberapa lembaga penelitian.

Dari komparasi silang tersebut didapati kecenderungan pola yang sama, yaitu jika pemilihan gubernur dilakukan saat ini (Oktober 2016) maka pertama, tidak ada satupun kandidat yang meraih dukungan di atas 50%. Populi Center dan SMRC mencatat paling tinggi elektabilitas pemenang berada di kisaran 45%, sedangkan lembaga riset lainnya menyebutkan suara pemenang berada di bawah 40% sebagai berikut Lingkaran Survei Indonesia (31,1%), Polmark (31,9%), Skala Survei Indonesia (33,8%). Artinya semua sepakat, Pilkada DKI akan dilakukan dua putaran.

Lalu kedua, tingkat keterpilihan petahana, Basuki T. Purnama-Djarot S. Hidayat (Ahok-Djarot) mengalami tren penurunan. Berdasar data Populi Center dapat dihitung suara petahana mengalami penurunan 1,3% per bulan, adapun berdasar data SMRC penurunan sebesar 8% dalam 3 bulan. Sementara menurut SSI penurunan sebesar 13,3% dalam delapan bulan, adapun menurut Lingkaran Survei Indonesia suara Ahok-Djarot turun 19% selama tujuh bulan. Sedangkan menurut Polmark, elektabilitas petahana anjlok 10,8% dalam waktu tiga bulan. Jika diambil rata-rata maka laju penurunan suara petahana sekira 2,5% per bulan.

Dan yang ketiga, tingkat keterpilihan para kompetitor Agus H. Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno secara variatif mengalami penaikan. Khusus bagi Agus-Sylvi elektabilitasnya cukup mengejutkan, dari lima lembaga survei dua diantaranya menyatakan pasangan yang diusung Poros Cikeas ini berhasil menempati posisi kedua. SMRC menyebutkan Agus-Sylvi (22,3%) dan Anis-Sandi (19,9%), SSI menyatakan Agus-Sylvi (19,6%) dan Anis-Sandi (18,8%). Artinya, pasangan ini memiliki element of surprise.

Pungli-Reklamasi

Di sebelah dinamika pilkada DKI yang menunjukkan tren laju penurunan suara petahana dan tren penaikan elektabilitas penantang tersebut, berlangsung pula drama tidak kalah menarik yang melibatkan dua rezim berbeda. Beberapa pekerjaan rumah yang belum selesai di masa lalu kembali dibuka sehingga sosok mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali menjadi sorotan.

Sorotan Pertama, isu hilangnya laporan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir pada masa pemerintahan SBY dinyatakan oleh Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki. Tak pelak bergulirnya isu ini memaksa SBY mencurahkan energinya untuk melakukan klarifikasi resmi bersama para mantan pembantunya seperti mantan Menko Polhukam Djoko Suyanto, mantan Kapolri Bambang Hendarso, mantan Kepala BIN Syamsir Siregar dan mantan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.

Sorotan kedua, dalam sepekan dua mantan pembantu SBY yaitu mantan Menteri Kesehatan Siti F. Supari dan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan ditahan atas kasus berbeda. Pada masa kepemimpinan SBY, kedua menteri ini termasuk kategori yang cukup bersinar, Siti dikenal bersuara lantang terkait vaksin flu burung, sedangkan Dahlan populer melakukan gebrakan pembenahan BUMN, salah satunya ketika merekrut seorang banker sebagai Dirut Kereta Api Indonesia yaitu Ignasius Jonan.

Dalam pada itu, pemerintahan Jokowi tengah gandrung menyatakan perang terhadap praktek pungutan liar (pungli) di berbagai instansi pemerintah baik kementerian maupun badan, baik di pusat maupun di daerah. Pungli merupakan bentuk lain dari korupsi, publik menyambut baik langkah tersebut meski ada sebagian yang mempertanyakan relevansinya terhadap pemberantasan dugaan korupsi dan gratifikasi pada sejumlah kebijakan pemerintah, salah satunya reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Karena kebijakan reklamasi Pantai Utara Jakarta yang sempat diberhentikan oleh Menko Maritim Rizal Ramli kini dilanjutkan kembali, dan proses hukum yang berjalan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun belum menunjukkan perkembangan berarti. Sehingga publik pun mempertanyakan, mengapa Presiden Jokowi sampai harus turun tangan mengurusi pungli senilai puluhan juta di Kementerian Perhubungan, namun seolah tidak beri perhatian kepada kasus reklamasi.

Kedua proposisi di atas mari kita letakkan secara proporsional, tidak perlu memaksa untuk menemukan korelasi antara dinamika Pilkada DKI Jakarta yang sedang berlangsung dengan fenomena penegakan hukum atas kasus di masa lalu serta kasus baru di masa kini. Yang perlu kita lakukan adalah mencoba membacanya secara obyektif semata.

Perang 100 Hari

Izinkan saya meminjam perspektif Andrew Mack (1975) tentang konsep perang asimetris dimana merupakan perang yang tidak berimbang baik dari segi entitas, kuantitas, maupun kualitas di antara pihak-pihak yang terlibat perang. Jika dalam perang simetris mempertemukan negara melawan negara, militer melawan militer, maka dalam perang asimetris aktornya adalah negara dengan non-negara seperti kelompok pergerakan, organisasi bahkan korporasi.

Berdasarkan pengamatan di sejumlah negara, perang asimetris pasca Perang Dunia II ternyata justru berhasil dimenangkan oleh aktor non-negara. Dalam karya, Why Big Nations Lose Small Wars, Mack melihat ternyata negara yang mempunyai kekuatan militer jauh lebih besar harus menerima kenyataan pahit tak mampu mengalahkan perjuangan rakyat di Asia yang tidak memiliki persenjataan lengkap dan canggih.

Salah satu penyebabnya adalah strategi gerilya (hit and run) yang dilakukan rakyat dengan memanfaatkan bentangan waktu dan alam. Abdul Haris Nasution dalam Fundamentals of Guerilla Warfare (1953) menegaskan, strategi gerilya akan berhasil bila diperkuat oleh adanya kemanunggalan antara tentara dan rakyat. Meski begitu, apabila waktu dan alam tidak terbentang lapang maka akan menyulitkan penerapan strategi gerilya tersebut.

Dalam konteks Pilkada DKI kiranya kita berharap kompetisi dapat berjalan secara simetris, namun jika melihat kepada beberapa indikasi tampaknya kontestasi yang sedang berlangsung saat ini sesungguhnya bukan hanya pertarungan antara petahana melawan penantang, melainkan membentuk pola asimetris antara penantang melawan penguasa yang berada di belakang petahana.

Menjadi asimetris karena masih segar dalam ingatan publik bahwa Presiden Jokowi punya andil besar dalam mempertemukan Ahok dengan Megawati Soekarnoputri sehingga berbuah dukungan resmi PDIP. Proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dilanjutkan kembali oleh Presiden Jokowi dengan disertai stagnan-nya proses hukum membuat indikasi perang asimetris menjadi lebih kentara lagi.

Melihat rentang waktu yang tersedia kurang dari empat bulan, atau hanya efektif sekira tiga bulan, maka dalam 100 hari ke depan perang asimetris akan terus berjalan. Petahana yang tengah menghadapi tren laju penurunan suara harus bekerja keras menahan laju penurunan tersebut, jika tidak sanggup maka pilihannya adalah harus mencegah agar suara yang berpindah itu tidak langsung beralih menjadi dukungan kepada penantang.

Salah satu pencegahan itu adalah dengan cara menurunkan kredibilitas para penantang sehingga suara petahana yang hilang menjadi suara mengambang yang sesaat jelang pemilihan suara tersebut bisa direbut kembali. Jika petahana tidak mampu melakukannya, maka suara sulit untuk rebound, kenyataan pahit harus diterima karena perlawanan dari para penantang akan menguras semua sumber daya.

Anies-Sandi baru saja mendapat suntikan energi dengan bergabungnya mantan komisioner KPK menjadi jurkam mereka, sementara Agus-Sylvi meski saat ini SBY tengah disibukkan oleh urusan TPF Kasus Munir, namun bukan berarti dukungan akan melemah, malah bisa sebaliknya. Karena menurut psikologi sosial masyarakat memiliki perilaku curiosity tinggi terhadap ‘barang baru’, dan tentunya penampilan pada masa kampanye resmi menjadi sangat menentukan. ***

Mohamad Hailuki

Koordinator Puslabpol

Leave a Reply