Oleh : M.A Hailuki
LAZIMNYA sebuah arena pertempuran, pemilihan presiden (pilpres) akan menjadi ajang kolaborasi penerapan berbagai teori keilmuan, mulai dari politik, statistik, sosiologi, marketing, komunikasi bahkan sampai ilmu perang.
Arena pilpres bahkan kerap menjadi tempat eksperimen penerapan aneka inovasi strategi oleh masing-masing kubu untuk memenangkan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang mereka dukung.
Ilmu politik kini semakin berkembang berkat kolaborasi berbagai ilmu lainnya semisal ilmu statistik, bagaimana politik yang merupakan sebuah ilmu sosial kualitatif, bahkan sarat dengan hal irasional, kini bertransformasi seolah menjadi ilmu eksakta yang kuantitatif. Penerapan ilmu komunikasi, teknologi informasi dan marketing dalam politik juga membuat kampanye politik menjadi lebih kreatif dan inovatif.
Kini kampanye bukan lagi soal arak-arakan keliling kota, tapi bagaimana menggunakan semua wahana komunikasi dan instrumen sosial untuk merebut simpati masyarakat.
Ada satu ‘tabiat’ politik yang tidak pernah berubah dalam setiap perhelatan kontestasi politik dalam hal ini pilpres, yaitu perang persepsi untuk meraih dukungan pemilih. Berbagai kampanye positif, kampanye negatif dan kampanye hitam sangat gencar dilakukan hingga semakin sulit dibedakan. Terlebih lagi, Pilpres 2014 hanya diikuti dua kandidat capres dan cawapres yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sehingga berakibat pada makin runcingnya perang opini.
Mulai dari aksi saling berbalas di dunia maya dengan cara menebar berbagai parodi editan dokumentasi kutipan pernyataan, foto dan video, sampai penyebaran tabloid atau spanduk gelap di masyarakat hingga terbakarnya posko relawan salah satu kandidat. Semua itu merupakan bagian dari perang persepsi yang sedang dan akan terus berlangsung sampai pada hari pencoblosan 9 Juli 2014.
Propaganda dan Agitasi
Kontestasi politik sejatinya adalah permainan persepsi, dimana hal itu tidak akan bisa dilepaskan dari konsep propaganda dan agitasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan propaganda adalah penerangan baik benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Masih dalam KBBI, agitasi adalah hasutan kepada orang banyak untuk melakukan sesuatu biasanya dilakukan oleh tokoh atau aktivis partai politik.
Banyak pendapat para ahli tentang propaganda, salah satunya menyebutkan propaganda sebagai sebuah usaha mengubah pandangan orang lain sesuai dengan yang diinginkan atau merusak pandangan yang bertentangan dengannya (Petty & Cacioppo, 1981). Propaganda tidak mesti bermakna negatif sebagaimana pemahaman Joseph Goebbels, menteri Propaganda Nazi, yang mengidentikkan propaganda sebagai aksi kebohongan yang diulang-ulang agar menjadi sebuah kebenaran.
Ada tiga metode yang biasa digunakan dalam melancarkan aksi propaganda, selain cara pertama metode persuasif yang sudah banyak dikenal, ada metode kedua yaitu koersif, adalah komunikasi dengan cara menimbulkan rasa takut agar masyarakat secara tidak sadar bertindak sesuai keinginan sang propagandis. Metode ini dapat kita lihat secara jelas bagaimana dalam Pilpres 2014, baik kubu Jokowi maupun Prabowo melakukannya propaganda dengan cara menakut-nakuti publik.
Kubu Jokowi melalui para propagandisnya menyatakan kaum minoritas non-Muslim, kaum Syiah dan Ahmadiyah akan tertindas apabila Prabowo jadi presiden, karena Prabowo didukung oleh kelompok Islam yang intoleran.
Propagandis Jokowi juga menyerang Prabowo dengan isu ancaman kekejaman penguasa terhadap rakyat serta terlahirnya kembali rezim otoriter apabila Prabowo menjadi presiden, hal ini dikaitkan dengan memori kasus penculikan aktivis yang dituduhkan kepada Prabowo di masa lalu, dikaitkan juga dengan sikap tempramen ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu.
Sementara kubu Prabowo melalui propagandisnya menghembuskan, Indonesia akan semakin didikte oleh asing apabila Jokowi jadi presiden, karena Jokowi sudah direstui Amerika Serikat, aset-aset nasional akan dijual lagi sebagaimana dulu terjadi di masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Indonesia akan semakin diinjak oleh Malaysia karena Jokowi didukung mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.
Propagandis Prabowo juga menakut-nakuti pemilih Muslim dengan menghembuskan isu jika Jokowi berkuasa maka kelompok minoritas, Tionghoa dan non-Muslim, akan mengambil alih kontrol negara.
Selanjutnya adalah metode pervasif yaitu menyebarluaskan pesan yang dilakukan secara terus menerus agar komunikan dalam hal ini masyarakat melakukan imitasi terhadap pesan yang disebar tersebut, sehingga tanpa disadari masyarakat sudah menjadi bagian dari agen propagandis.
Belakangan ini kita banyak menemukan fenomena penyebaran pesan singkat atau broadcast melalui aplikasi “messenger” di telepon genggam maupun media sosial yang isi pesan itu belum tentu benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan akurasinya. Namun tanpa disadari atau tidak, masyarakat yang meneruskan broadcast tersebut membuat mereka menjadi bagian dari agen propagandis.
Positioning Image
Politik pencitraan yang berkembang pesat di Indonesia sejak 2004 merupakan pengolahan dari teori positioning yang banyak diterapkan dalam ilmu pemasaran, dimana citra sebuah produk atau seorang politisi bisa diciptakan atau dibentuk melalui berbagai pengaturan saluran komunikasi.
Ada yang mengartikan secara sederhana politik pencitraan sebagai politik seolah-olah, ini salah kaprah, politik pencitraan adalah pembentukan dan penguatan persepsi publik terhadap sosok tertentu baik individu maupun lembaga politik.
Dalam ilmu marketing dikenal teori STP (Segmenting, Targeting, Positioning).Segmenting adalah aktivitas membagi pasar yang heterogen menjadi pasar yang homogen atau memiliki kesamaan minat, geografi, perilaku dan gaya hidup (Philip Kotler, 2003). Targeting adalah penentuan sasaran yang akan dituju, sedangkan positioning adalah citra produk atau perusahaan yang ingin dibentuk di benak konsumen, bagaimana pandangan konsumen terhadap produk tersebut, sehingga konsumen mau menilai produk itu lebih baik dari yang lain dan berminat membelinya.
Positioning juga diartikan sebagai sebuah strategi untuk menciptakan perbedaan,manfaat dan keuntungan yang membuat konsumen selalu ingat dengan suatu produk (Fanggidae, 2006). Konsep positioning inilah yang dalam politik digunakan untuk membangun citra, dengan demikian politik pencitraan merupakan upaya untuk membangun kepercayaan konsumen terhadap sebuah pribadi politik, yang dalam konteks pilpres adalah capres yaitu Jokowi atau Prabowo.
Pada hakekatnya, positioning adalah menanamkan persepsi, identitas, kepribadian capres dalam benak pemilih. Itulah yang diinginkan Jokowi dengan latar belakang anak tukang kayu, penampilannya yang sederhana, berpakaian kotak-kotak yang notabene motif dominan sarung (pakaian rakyat), tanpa protokoler, blusukan ke tempat becek, sehingga mendapatkan positioning atau tercitra tak jauh beda dengan rakyat kebanyakan. Tak heran jika tagline yang digunakan “Jokowi Adalah Kita”.
Sementara Prabowo, dengan latar belakangnya sebagai tentara, mantan danjen Kopassus dan panglima Kostrad, dengan penampilan berwibawa, berpakaian safari saku empat ala mode pejuang zaman revolusi, gaya bicara orator berintonasi tinggi, retorika berapi-api, badan tegap gagah perwira, merupakan upaya agar terbangun persepsi sebagai sosok pahlawan, satria, penyelamat negara. Sehingga slogan kampanye yang digunakan adalah “Selamatkan Indonesia” dan dalam iklan versi lainnya “Indonesia Bangkit”.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam melakukan positioning yaitu konsistensi, artinya persepsi kuat yang hendak dibentuk harus dibangun secara konsisten dan tidak berubah-ubah. Karena apabila persepsi kepribadian berubah-ubah akan menimbulkan kebingungan di benak konsumen dan dapat berdampak pada hilangnya fokus konsumen terhadap nilai-nilai yang ditanamkan.
Sejauh ini Jokowi dan Prabowo berhasil dalam melakukan aksi propaganda, agitasi dan positioning, hingga masa kampanye nanti bahkan sampai masa tenang intensitas perang persepsi akan semakin meningkat. Pada akhirnya konsistensilah yang akan menentukan konstituen akan memilih salah satu di antara keduanya. Sekali saja goyah,maka pemilih akan cepat beralih.