Oleh : M.A Hailuki
ENAM Paket kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintahan Presiden Jokowi belum cukup ampuh menampakkan taji, target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,3 % masih belum terealisasi. Meski sempat tumbuh pasca Pilkada serentak akhir 2015, memasuki bulan kedua 2016 kondisi perekonomian nasional masih mengalami perlambatan, belum menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan signifikan.
Prediksi ekonomi dunia yang masih mengalami perlambatan pada tahun ini disikapi oleh pemerintah dengan tetap menggenjot sejumlah megaproyek infrastruktur yang sudah kadung digulirkan sejak tahun lalu seperti peluncuran Tol Laut berupa penambahan armada kapal angkut dan pembangunan 24 pelabuhan yang diprediksi menghabiskan dana Rp699,9 Triliun. Proyek Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta senilai Rp12,4 Triliun dan yang teranyar groundbreakingdimulainya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung senilai Rp80 Triliun.
Dapat kita pahami, konstruksi pemikiran Presiden Jokowi bahwa dengan adanya mega proyek infratruktur tersebut maka dalam jangka menegah dan panjang akan berdampak positif bagi distribusi dan stabilitas harga berbagai komoditas. Dengan infrastruktur tersebut juga diharapkan roda ekonomi daerah semakin cepat bergerak seiring dengan meningkatnya intensitas pergerakan barang, orang dan uang.
Namun, hal ini dinilai sebagian kalangan sebagai kebijakan yang tidak tepat, mengingat begitu rentannya perlambatan ekonomi dunia mempengaruhi perekonomian nasional. Kekuatiran itu bukan tanpa alasan, sebab ketika perekonomian nasional ikut melambat maka daya beli masyarakat ikut menurun, yang pada akhirnya akan berujung kepada tidak seimbangnya supply and demand barang di pasar.
Mega proyek infrastruktur memang bisa menekan harga komoditas untuk jangka panjang, namun tidak bisa menjaga daya beli masyarakat untuk jangka pendek. Yang perlu diperhitungkan secara cermat adalah, kenaikan harga komoditas tidak melulu diakibatkan oleh kendala distribusi akibat infrastruktur, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti gagal panen akibat perubahan iklim atau serangan hama, penaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan penimbunan barang.
Ikonik Simbolik
Sejarah pembangunan Indonesia mencatat sejumlah megaproyek yang digulirkan rezim-rezim terdahulu. Proyek-proyek tersebut dianggap ‘mercusuar’ karena dianggap lebih mengejar prestisius agar dipandang hebat oleh negara lain ketimbang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan prioritas di dalam negeri. Proyek tersebut cenderung berupa fisik yang ikonik dan simbolik.
Pada masa Orde Lama, Presiden Sukarno menggulirkan sejumlah ‘proyek mercusuar’ yang menyimbolkan keperkasaan Indonesia di pentas dunia internasional. Misalnya Stadion Utama Gelora Senayan yang dibangun pada 1958-1962 dimana menelan biaya sebesar 12,5 juta dollar AS dengan menggunakan hutang luar negeri dari Uni Soviet.
Kemudian proyek Monumen Nasional (Monas) pada 1961 dengan nilai yang cukup menguras anggaran keuangan negara. Lalu proyek gedung CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) pada 1965 yang kini menjadi komplek parlemen MPR/DPR untuk menandingi PBB yang dianggap Sukarno terlalu pro kapitalis. Megaproyek lainnya adalah pembangunan Hotel Indonesia yang selesai pada 1962 untuk mendukung even Asian Games IV.
Di Luar Jawa, Presiden Sukarno pun membangun beberapa proyek mercusuar, yang termasyhur adalah Jembatan Ampera di Sumatera Selatan pada 1962-1965 dengan panjang total lebih dari 1.000 meter yang menelan biaya 4,5 juta dollar AS. Ada pula proyek pembangunan Istana Tampak Siring di Bali pada 1957-1963 sebagai satu-satunya Istana Presiden yang dibangun setelah masa kemerdekaan.
Keagungan berbagai megaproyek yang dibangun Presiden Sukarno ternyata tidak mampu membangkitkan perekonomian nasional, alih-alih perkasa, saat Demokrasi Terpimpin justru Indonesia mengalami hiper-inflasi. Padahal ketika itu Indonesia memiliki dana rampasan perang yang tidak sedikit, yaitu sebesar 223 juta dollar AS yang jika dialokasikan secara tepat dapat meningkatkan roda ekonomi nasional.
Mengapa Bung Karno mengambil kebijakan seperti itu? Pengeluaran uang untuk simbol-simbol penting seperti itu tidak akan sia-sia. Aku harus membuat bangsa Indonesia bangga terhadap diri mereka. Mereka sudah terlalu lama kehilangan harga diri. Banyak orang menuduhku menghambur-hamburkan uang rakyat. Ini semua bukanlah untuk keagunganku, tetapi agar seluruh bangsaku dihargai oleh seluruh dunia,” ujar Sang Panglima Besar Revolusi, Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno dalam biografi Sukarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Cindy Adams, 1965).
Pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, rezim Orde Baru juga tercatat menggulirkan beberapa proyek mercusuar. Selain pembangunan berbagai jalan tol dan jembatan layang, salah satu yang cukup mencolok misalnya, proyek Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang didirikan pada 1976 dimana BJ Habibie sebagai punggawanya. Setelah sukses memproduksi pesawat angkut CN-235 dan N-250, Presiden Soeharto meminta Habibie memproduksi pesawat yang lebih besar dengan mesin jet yaitu N-2130 dengan biaya dua miliar dollar AS. Proyek prestisius ini berhenti pada 1998 setelah terjadi krisis ekonomi.
Masih segar dalam ingatan kita juga, proyek Mobil Nasional yang melambungkan dua putera Presiden Soeharto, yaitu Hutomo Mandala Putro alias Tommy yang memproduksi mobil Timor dan Bambang Triatmodjo yang membuat mobil Bimantara. Keduanya mengklaim sebagai mobil nasional terbaik di Indonesia, padahal saat itu seluruh bagiannya diproduksi di Korea Selatan.
Mungkin sama seperti Bung Karno, terlepas dari motif bisnis kroni, Presiden Soeharto ingin menunjukkan kepada dunia bahwa proyek mercusuar tersebut merupakan fisik simbolik bahwa Indonesia adalah salah satu Naga di Benua Asia.
Satu lagi proyek mercusuar yang identik dengan Rezim Orde Baru adalah Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dalam biografinya, Presiden Soeharto mengatakan, proyek yang mulai dibangun pada 1975 tersebut ditujukan untuk sarana rekreasi sehat bagi masyarakat. Meski mendapat tentangan luas, pemerintah tetap bersikeras merampungkannya pada 1986. Jika mereka terus melakukan tindakan yang dapat mengganggu stabilitas nasional, terus terang saja akan saya tindak,” ujarnya dalam biografi Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (Dwipayana & Ramadhan, 1989).
Pada pertengahan 1990-an, tepatnya 1996 Presiden Soeharto mencanangkan kembali proyek mercusuar, megaproyek Menara Jakarta setinggi 558 meter yang digadang-gadang bakal jadi salah satu menara tertinggi di dunia dengan total biaya sebesar 400 juta dollar AS. Proyek mercusuar ini berujung mangkrak ketika perekonomian Indonesia mengalami krisis moneter pada 1997, setahun kemudian Presiden Soeharto pun lengser jabatan, berbagai megaproyek yang telah dibangun tidak bisa menolongnya.
Politik Anggaran
Belajar dari kepemimpinan nasional terdahulu, kiranya amat penting mengelola keuangan negara baik bersumber APBN maupun hutang luar negeri secara efektif dan efisien. Presiden Jokowi mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp290,3 triliun pada 2015, angka ini merupakan rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir. Lalu untuk 2016, pemerintah menganggarkan Rp213 triliun dengan harapan akan meningkatkan pertumbuhan pada jangka menengah 2017.
Pemerintah juga mengajukan hutang luar negeri sebesar 1 miliar dollar AS kepada Bank Investasi Infrastrutur Asia (BIIA) untuk mendanai sejumlah proyek fisik salah satunya pembangunan jalan tol Trans Kalimantan. Jokowi mengklaim, agar tidak Jawa Sentris maka arah pembangunan nasional di era kepemimpinannya dimulai dari kawasan pinggiran, dia menamakannya Indonesia Sentris” dimana dana akan dimaksimalkan disebar ke luar Jawa.
Adapun proyek infrastruktur di Pulau Jawa akan menggandeng investor dari luar negeri, salah satunya yaitu Tiongkok. Dalam perspektif ekonomi politik, postur APBN sebuah pemerintahan mencerminkan komitmen politik sekaligus mazhab ekonomi yang dianutnya. Pada titik ini, Jokowi harus berhati-hati, proyek infrastruktur memang perlu, namun jangan sampai terjebak kepada ikonik mercusuar yang membuatnya semakin jauh dari semangat kerakyatan dan mazhab ekonomi Marhaenisme. Terlebih lagi bilamana di kemudian hari, megaproyek tersebut mangkrak tak jelas nasib, seperti contoh monorel yanggroundbreaking-nya sempat diresmikan Jokowi saat masih menjadi gubernur DKI pada 2013.
Berkali-kali Presiden Jokowi mengatakan bahwa program pembangunannya berlandaskan ajaran Tri Sakti Bung Karno yang pada intinya mengajarkan kedaulatan politik, kepribadian budaya nasional dan kemandirian ekonomi.
Kini pertanyaannya, apakah postur APBN telah mencerminkan amanat Tri Sakti? Jika berbagai megaproyek infrastruktur digenjot namun pemerintah tetap melakukan impor pangan maka Presiden Jokowi bisa dikatakan belum mengamalkan Tri Sakti. Apabila megaproyek digulirkan namun yang mengerjakannya buruh asing dari negeri investor, apakah sesuai dengan ajaran Tri Sakti?
Megaproyek infrastruktur yang digulirkan Presiden Jokowi tidak boleh hanya menjadi proyek mercusuar gagah-gagahan, melainkan harus menjadi pencegah meningkatnya jumlah pengangguran terbuka. Sang Proklamator Bung Hatta (1946) pernah berpesan, rakyat harus menjadi pihak pertama yang merasakan manisnya pembangunan, tidak hanya menikmati hasil pembangunan melainkan juga ikut terlibat dalam pembangunan.
Sudah semestinya proyek-proyek tersebut dibangun oleh keringat pekerja anak negeri, agar angkatan kerja yang tersedia dapat terserap produktif. Sehingga bilamana terjadi perlambatan ekonomi seperti saat ini, para pekerja tetap memiliki daya beli. Pada saat bersamaan, guna menjaga daya beli masyarakat secara luas, Presiden Jokowi bisa mengambil opsi berupa penambahan subsidi dengan cara menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berdampak langsung bagi stabilitas harga komoditas pokok. Apabila rakyat kecil tetap mampu membeli, maka roda ekonomi akan tetap berputar, itulah keep buying strategy yang efektif di masa resesi guna mencegah meningkatnya angka kemiskinan akibat perlambatan ekonomi.
Tanpa bermaksud pesimistis, mari lupakan jargon ekonomi Indonesia akan ‘meroket’ dalam waktu dekat, yang menjadi fokus saat ini adalah bagaimana agar dapat bertahan dan tetap menumbuhkan harapan agar perkonomian nasional bisa selamat dan mengalami pertumbuhan, sekecil apapun itu. Apabila pemerintah tetap bersikukuh mengutamakan proyek-proyek mercusuar tanpa didasari perhitungan cermat dan transparansi, maka jangan salahkan publik apabila menduga ada udang di balik proyek? [***]