Oleh : M.A Hailuki
MEMBACA judul artikel ini para pembaca mungkin akan langsung menangkap apa substansi yang hendak diuraikan dalam tubuh tulisan. Namun sebelum mengulas lebih dalam, izinkan saya untuk sejenak menjelajah ke ruang sejarah.
Jauh ke masa lampau pada menjelang akhir Abad Pertengahan, di Eropa, khususnya Italia terjadi sebuah disintegrasi, masa dimana negeri bekas imperium besar bernama Romawi, terpecah-pecah menjadi negara kota yang tak berdaya, tak diperhitungkan dalam kancah internasional.
Romawi yang semula berkuasa mulai dari Eropa Barat sampai Timur hanya menyisakan beberapa provinsi yang menjadi wilayah rebutan negara-negara lain seperti Prancis, Spanyol dan bahkan, negara sekecil Swiss ikut menjadikan Italia sebagai wilayah bancakan.
Tak adanya pemimpin yang kuat membuat Italia menjadi negara yang lemah, bahkan sangat ringih menghadapi serbuan negara lain. Pertahanan militer teramat rapuh, karena Italia tidak punya angkatan bersenjata mandiri, melainkan mengandalkan tentara bayaran.
Di tengah situasi Italia yang nista itu, seorang mantan pejabat negara bagian yang berdinas dalam urusan luar negeri memberikan buah-buah pikiran kepada pemimpin rezim baru untuk mengambil langkah-langkah taktis strategis mempersatukan kembali Italia menjadi negara adidaya bahkan berkuasa di dunia, (Suhelmi, 2001).
Buah-buah pemikirannya itu kemudian diberi judul Sang Penguasa, berisi 26 tesis bagaimana merebut dan melanggengkan kekuasaan. Sang mantan pejabat berharap, pemikiran dapat diterima dan dirinya kembali diangkat menjadi penasehat kerajaan.
Namun jauh panggang dari api, dinasti rezim baru menolak mentah-mentah masukan tersebut, bahkan justru mantan pejabat itu mengalami penderitaan sampai akhir hayatnya karena mati dalam pembuangan dengan gelar teramat terhina.
Singa & Rubah
Dialah Niccolo Machiavelli (1467-1527), sang mantan pejabat yang kemudian didapuk sebagai The Teacher of Evil. Pasalnya, dalam 26 tesis yang ditulisnya, dia menyarankan bahwa untuk melanggengkan kekuasaan maka pembunuhan, kebohongan dan pengkhianat merupakan hal yang mesti dilakukan seorang penguasa.
Bahkan Bertrand Russel pun mengatakan, Sang Penguasa yang ditulis Machiavelli adalah buku yang hanya layak dibaca oleh para gangster, bukan untuk politisi, (Benedanto, 1997). Karena politisi sebagai entitas politik tidak boleh menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, melainkan alat untuk mewujudkan kebaikan bagi negara dan masyarakat.
Dewasa ini, bukanlah barang aneh lagi melihat para politisi berkhianat, berbohong bahkan membunuh dalam konteks politik untuk melanggengkan kekuasaannya. Apa yang disarankan Machiavelli ratusan tahun lalu dalam realitanya dipraktekkan oleh politisi di dunia modern.
Machiavelli mengatakan, untuk menguasai sebuah wilayah yang pertama kali harus dilakukan adalah membumi hanguskan wilayah itu termasuk membunuh semua keturunan penguasa lama yang menempati wilayah itu sebelumnya. Ini adalah wujud dari sifat Singa yang harus dimiliki seorang penguasa.
Kita tidak akan membahas itu dalam tulisan ini, tapi kita akan bedah yang selanjutnya, yaitu untuk melanggengkan kekuasaan seorang penguasa boleh berbohong atau berkhianat dari kesepakatan yang dibuatnya. Bagi Machiavelli, seorang penguasa tidak wajib memegang janji apabila janji tersebut akan merugikan dirinya.
Dan seorang raja tidak akan pernah kehabisan alasan untuk menutupi ketidaksetiaannya itu. Machiavelli tidak mampu membedakan makna cerdik dan licik, sehingga keduanya diidentikkan dengan sifat Rubah. Jika harus memilih menjadi penguasa yang ditakuti atau dicintai rakyat, Machiavelli memilih ditakuti, bukan dicintai.
Sabda Raja
Berbeda dengan pandangan Machiavelli soal komitmen dan ucapan penguasa, dalam konsepsi kepemimpinan tradisional Jawa, ucapan seorang raja adalah hukum. Maka dikenal konsep Sabda Pandita Ratu, dimana raja tidak boleh asal bicara karena ucapannya akan menjadi hukum atau panutan.
Presiden Joko Widodo sebagai seorang Jawa, yang lahir dan besar di Solo yang notabene jantung tanah Jawa sudah barang tentu dan sepantasnya lebih memahami konsep Sabda Pandita Ratu dibanding jurus Singa & Rubah yang disampaikan Machiavelli dalam buku Sang Penguasa.
Tanpa pretensi apapun, sejak sebelum dan sesudah Joko Widodo dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, tanpa sadar atau tidak sadar, terdapat nuansa Machiavelis dalam praktek politik kekuasaannya. Dimulai dari janji politik hingga performa kinerja.
Dua bulan sebelum Pilpres 2014, Jokowi secara lantang berteriak bahwa koalisi politik yang akan dibangunnya tanpa pembagian jatah kursi menteri. Pada tulisan terdahulu, Koalisi Tanpa Jatah Menteri, Meritokrasi atau Otokrasi? Saya menduga Jokowi akan mencari titik temu antara meritokrasi dan otokrasi, realitanya Jokowi menjadikan kursi menteri sebagai jatah koalisi.
Janji Jokowi membuat kabinet yang ramping dan profesional terpatahkan oleh Kabinet Kerja yang dibentuknya ternyata tetap gemuk dan berwarna politik, bahkan posisi Jaksa Agung, sebuah posisi yang diduduki pejabat non parpol selama era SBY, kini malah diberikan kepada kader parpol.
Lalu, terkait kebijakan Presiden Jokowi meminta menteri tidak aktif dalam jabatan struktural di partai politik terbantahkan oleh fenomena Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Puan Maharani yang masih tercatat aktif sebagai petinggi PDI Perjuangan.
Janji politik Jokowi untuk menyetop impor beras dan sapi pun tidak atau belum ditepati, dapat dipahami bahwa tidak ada rentang waktu yang Jokowi sampaikan untuk mewujudkan janjinya itu, namun realitanya saat ini di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia masih impor beras dan sapi.
Yang tersegar terkait hutang adalah, rezim Jokowi sesumbar memilih ekonomi berdikari sebagaimana amanat Trisakti Bung Karno dengan cara enggan menambah hutang luar negeri, namun realitanya Indonesia tetap berhutang baik bilateral kepada negara donor, maupun multilateral kepada lembaga keuangan internasional. Tak perlu disebut berapa jumlah angka hutang tersebut, faktanya rezim Jokowi menambah hutang luar negeri.
Dalam kebijakan penaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pun, Jokowi lain lisan dan perbuatan. Sebelum jadi Presiden, dia mengatakan harga BBM yang mahal memberatkan rakyat, namun setelah menduduki Istana, Jokowi malah menaikkan harga BBM.
Tampaknya, Sabda Pandita Ratu Jokowi tak dapat dipegang, atau bahasa sederhanya adalah inkonsisten. Namun ada juga ucapannya yang tampak konsisten tanpa disertai tindakan guna menjaga kekonsistenannya itu, misal, perintah Jokowi agar Polri tidak melakukan kriminalisasi terhadap KPK.
Jokowi berulang kali menegaskan hal itu, namun di saat bersamaan, dia tidak melakukan pencegahan terjadinya kriminalisasi. Kasus yang dikenakan Polri terhadap pimpinan dan penyidik KPK tidak dihentikan segera, malah justru tampak seolah ada rantai komando yang putus antara Presiden dengan Polri dalam hal ini Bareskrim.
Jalan pengabdian masih panjang, semoga Presiden Jokowi mampu memenuhi semua janjinya kepada rakyat, agar Sabda Pandita Ratu tidak sekadar bunyi suara tapi menjadi jauh lebih bermakna. Karena janji adalah janji, tak menepati janji kepada rakyat berarti khianat. [***]