SETELAH mencermati secara seksama konflik berdarah antara pemerintah junta militer Myanmar dengan kaum Rohingya, tampaknya krisis tersebut bersumber pada cara pandang rezim Myanmar terhadap kaum Rohingya.
Rezim berkuasa di Myanmar memposisikan etnis Rohingya sebagai entitas asing yang melakukan invasi atau pendudukan terhadap wilayah kedaulatan Myanmar. Sehingga Rohingya dipandang bukan semata gerakan separatis yang berjuang memerdekaan diri, tetapi dianggap sebagai ‘penjajah’ kedaulatan wilayah.
Dalam doktrin militer, mengusir penjajah merupakan perang mempertahankan kemerdekaan. Maka atas dasar kepentingan nasional, junta militer di sana mengerahkan kekuatan besar untuk memerangi kaum Rohingya yang dipandang selaku penjajah kedaulatan Myanmar.
Terlebih jika kita menelaah sejarah, kawasan Asia Tenggara memiliki catatan sejarah konflik dan disintegrasi bangsa. Seperti misal sejarah lepasnya Singapura dari Malaysia, berdirinya Brunei Darussalam menolak bergabung Federasi Malaysia, dan lepasnya Timor Timur dari Indonesia.
Selain itu ancaman disintegrasi juga masih menggayuti Pattani Thailand, dan Mindanao di Filipina. Beruntung persoalan Aceh dan Papua di Indonesia telah berhasil diselesaikan secara damai sehingga NKRI tetap terjaga. Melihat fenomena sejarah & akar konflik bersenjata di kawasan Asia Tenggara, demi kedaulatan dan perdamaian kiranya Myanmar harus mengubah cara pandangnya terhadap kaum Rohingya.
Spiral Kekerasan
Akibat cara pandang yang konfrontatif itu terjadilah spiral kekerasan yang melibatkan penguasa Myanmar, kaum Rohingya, dan rakyat sipil Myanmar. Sebagaimana dikemukakan Dom Helder Camara (1971) bahwa spiral kekerasan bermula dari ketidakadilan vertikal yang dilakukan penguasa terhadap rakyat sipil.
Kemudian dari kekerasan pertama tersebut melahirkan kekerasan kedua yaitu aksi balasan dari rakyat terhadap penguasa berupa pemberontakan sipil. Lalu aksi perlawanan rakyat tersebut disikapi oleh penguasa dengan tindakan represif sehingga melahirkan kekerasan ketiga yang memperparah kondisi ketidakadilan sebagai kekerasan pertama.
Pada posisi ini negara kerap menggalang kekuatan rakyat sipil untuk menindak para pemberontak, sehingga kekerasan yang semula bersifat vertikal mulai berubah menjadi horizontal. Selain negara yang bertindak, sesama rakyat sipil pun terjadi benturan kekerasan.
Rakyat tertindas yang kian terpojok akibat tindakan aliansi penguasa serta kelompok rakyat pro penguasa kemudian dengan berbagai cara memberikan perlawanan. Termasuk berupaya menarik pihak eksternal untuk membantu mereka. Sehingga eskalasi konflik menjadi semakin meningkat dan membesar.
Begitulah terus kekerasan membentuk pola spiral yang semakin dalam dan parah, dimana satu kekerasan melahirkan kekerasan lainnya dengan tingkat keparahan yang meningkat. Sehingga konflik berlangsung untuk waktu yang lama dan sulit untuk mengakhirinya.
Unifikasi Nasional
Cara pandang memposisikan Rohingya sebagai musuh kedaulatan nasional itulah yang harus diubah oleh rezim berkuasa Myanmar melalui dorongan Indonesia sebagai negara sahabat sesama anggota ASEAN. Sehingga penguasa Myanmar memandang etnis Rohingya sebagai bagian dari kekayaan keragaman kebudayaan nasional.
Apabila cara pandang ini tidak diubah maka sulit rasanya konflik berdarah di Rakhine bisa terselesaikan. Andaipun kekerasan dihentikan itu hanya bersifat sementara, kemudian dapat meletus kembali sewaktu-waktu.
Untuk itu, Indonesia sebagai Big Brother ASEAN harus hadir bukan untuk intervensi, melainkan membantu Myanmar untuk menyempurnakan proses unifikasi nasionalnya. Indonesia berhak peduli dan terpanggil untuk membantu Myanmar mewujudkan perdamaian di kawasan Asia Tenggara.
Apalagi, Indonesia punya pengalaman yang panjang dan mumpuni untuk menghadapi persoalan konflik etnis dan kekerasan komunal. Pengalaman mewujudkan perdamaian di Aceh, Poso, Ambon, dan Papua bisa ditularkan kepada pemerintah Myanmar. Kerukunan warga etnis Melayu, Tionghoa dengan India-Bangladesh di Medan, Sumatera Utara dapat dijadikan sebagai contoh nyata.
Menghapus etnis Rohingya dari Myanymar merupakan ilusi berbahaya yang mengancam stabilitas kawasan Asia Tenggara. Maka perlu sebuah resolusi damai sebagai penyelesaiannya, Dan Indonesia harus jadi aktor utama untuk mewujudkannya.
Memang tidak mudah mengubah cara pandang rezim berkuasa Myanmar terhadap kaum Rohingya, tapi kita yakin rasa kemanusiaan tidak akan pernah sirna dari muka dunia. Kita menyeru agar kekerasan segera dihentikan dan mulai kedepankan jalan dialogis antara pemerintah Myanmar dengan kaum Rohingya.
Sesuai pengalaman Indonesia, konflik dapat diselesaikan tidak melulu menggunakan hard-power berupa aksi kekuatan militer, tetapi juga dengan cara mengoptimalkan soft-power salah satunya yaitu budaya berdialog, persuasi, toleransi, dan sikap tenggang rasa.
Dengan pengaruh Indonesia sebagai negara sahabat tentu Myanmar secara bertahap akan mengubah cara pandangnya. Entah kapan, ini soal waktu saja. Dengan catatan, Indonesia tidak tinggal diam. Sesuai asas politik luar negeri kita yang Bebas-Aktif maka Indonesia harus aktif dalam mendorong perdamaian di Asia Tenggara, Myanmar pada khususnya. Semoga.
Mohamad Hailuki
Koordinator Puslabpol