Menghukum Kaum Intelektual

PERHELATAN akbar Piala Dunia 2014 di Brazil selesai digelar, pemenangnya telah ditetapkan, Jerman berhak mengangkat tropi juara setelah mengalahkan Argentina di partai puncak melalui gol tunggal nan cantik Mario Gotze. Menerima umpan matang dari sisi kiri, pemain Bayern Munich itu sesaat mengontrol dengan dada, sejurus kemudian sebelum menyentuh tanah, bola dilesakkan ke sudut gawang.

Sebuah pertandingan final ideal, menyuguhkan pertarungan yang sama kuat tanpa dominasi salah satu pihak, baik Jerman maupun Argentina saling baku serang. Namun hukum sepakbola menyatakan hanya boleh ada satu pemenang, Jerman bersorak-sorai girang tampil sebagai pemenang, meski hanya menang tipis 1-0, menang tetaplah menang. Argentina tertunduk lesu tak kuat menahan sendu. Sebagai wakil Benua Amerika, Laskar Tango ini tak mampu menahan laju Der Panzer. Meski begitu, Argentina yang menerima kekalahannya dengan lapang dada tetap berbangga. Penghargaan Golden Ball diberikan kepada Lionel Messi, kapten mereka.

Pemandangan kontras tampak dalam pagelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, meski pemilihan sudah dilakukan namun belum bisa dipastikan siapa yang keluar sebagai juara, Prabowo Subianto atau Joko Widodo. Kedua belah pihak mengaku sebagai juara, keduanya sama-sama mengklaim sebagai presiden terpilih dengan mendasarkan kepada hasil penghitungan cepat (Quick Count) lembaga survei. Empat lembaga survei memenangkan Prabowo, sementara delapan lainnya memenangkan Jokowi, semua lembaga tersebut mengaku kredibel dan profesional, meski beberapa dari mereka mengakui sebagai konsultan politik capres tertentu, ada juga yang mengakui pembiayaannya ditanggung oleh media massa yang berafiliasi ke salah satu kandidat.

Masyarakat yang sangat antusias menanti pemimpin baru Indonesia menjadi bingung lantaran kesimpangsiuran informasi quick count yang berbeda-beda. Bagi masyarakat di pelosok Nusantara yang merupakan pemirsa setia sinetron Mahabarata di ANTV dan Tukang Bubur Naik Haji di RCTI, mungkin menyakini pemenang Pilpres adalah Prabowo Subianto, karena kedua sinetron dengan rating tertinggi itu ditayangkan di televisi yang menyajikan quick count memenangkan Prabowo-Hatta.

Namun bagi pemilih yang merupakan pemirsa setia Indonesia Lawak Klub (ILK) di Trans7 dan sinetron Mak Ijah Pengen ke Mekah di SCTV, akan meyakini Jokowi adalah pemenang Pilpres karena kedua stasiun televisi ini menayangkan hasil quick count yang memenangkan Jokowi-JK. Adapun tvOne dan MetroTV justru tidak dijadikan rujukan masyarakat desa, selain segmentasi pemirsa berbeda, juga karena keberpihakannya satu sama lain tanpa saring tedeng aling-aling.

Beruntung Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera memerintahkan seluruh stasiun televisi menghentikan tayangan quick count, dengan demikian keyakinan masyarakat akan pemenang Pilpres tidak bergantung kepada televisi yang ditontonnya, melainkan KPU sebagai lembaga resmi yang berwenang menetapkan presiden terpilih Republik Indonesia. Dengan hasil quick count yang berbeda-beda maka tidak satupun bisa dijadikan rujukan, masyarakat awam bertanya-tanya mengapa metode hitung cepat yang biasanya ‘satu suara’ kini menjadi tak kompak.

Pengkhianatan Intelektual

Metode hitung cepat alias quick count dalam satu dekade ini telah menjadi “Tuhan” dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, dimulai sejak Pilpres 2004 lalu berlanjut di Pilpres 2009, kemudian diterapkan juga dalam berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada) baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Dengan tujuan mulia, masyarakat tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui siapa yang terpilih menjadi presiden, gubernur, bupati maupun walikota.

Sebagai sebuah “barang baru”, quick count dalam perjalanannya tidak hanya sekadar produk riset ilmiah, namun juga sebagai alat legitimasi dan justifikasi politik berbagai pihak yang terlibat dalam kontestasi politik di Tanah Air. Keyakinan yang teramat taklid terhadap quick count membuat masyarakat tidak kritis terhadap metodologi riset yang menjadi basis dari quick count itu sendiri. Masyarakat menelan mentah-mentah data yang disajikan para konsultan survei politik tersebut.

Padahal jika masyarakat mau berpikir kritis, para intelektual penjual jasa survei tersebut bukanlah malaikat, mereka yang mengaku profesional pun bisa menggadaikan kecendikiawanannya sebagaimana dikatakan Jullien Benda dalam buku klasik “Penghianatan Kaum Cendekiawan” yang menelanjangi para prilaku intelektual dalam menjual ilmunya. Bagi Benda, cendikiawan sebagai insan yang berilmu memiliki tanggung jawab untuk mencerahkan masyarakat, dari kegelapan menuju pencerahan, adalah dosa besar apabila kaum intelektual justru menggunakan ilmunya untuk membingungkan masyarakat.

Seorang cendikiawan yang menyembunyikan kebenaran atas nama apapun, bagi Benda adalah penghianat, karena sepahit apapun kebenaran haruslah diungkapkan. Oleh karena itu dia menegaskan, kaum intelektual mesti membebaskan diri dari kepentingan politik praktis dan polusi kekuasaan agar mampu menegakkan kebenaran. Dalam bukunya yang berjudul asli “La Trahison Des Clercs” itu Benda mengkritik keras para intelektual Prancis yang ‘disewa’ oleh kekuatan politik tertentu sebagai predator oportunis penipu masyarakat demi mengejar materi dan kekuasaan.

Dalam konteks quick count Pilpres 2014, entah siapa konsultan survei yang telah menghianati intelektualitasnya demi memenangkan salah satu kandidat? Nama besar lembaga survei termasyhur tidak bisa jadi jaminan tak akan melakukan penghianatan, begitu juga lembaga baru yang belum diketahui sepak terjangnya. Mereka para konsultan survei itu adalah kaum cendikiawan yang menurut Jullien Benda harus menjaga kesucian intelektualitasnya untuk menegakkan keberanan, sepahit apapun rasa kebenaran itu. Tanpa ingin menuduh atau mengadili, salah satu pihak diantara lembaga survei, baik yang memenangkan Jokowi maupun Prabowo patut diduga telah menghianati kebenaran.

Tentu waktulah yang akan mengungkap penghiatanan mereka, penetapan resmi KPU adalah penghakiman terhadap kaum cendikiawan penghianat kebenaran. Terlepas dari berbagai kekurangan, KPU telah mampu menunjukkan dan menjaga netralitasnya, maka dengan itu siapapun capres yang ditetapkan KPU sebagai pemenang maka lembaga survei yang dalam hitung cepatnya menyatakan berbeda sudah sepantasnya mendapatkan hukuman intelektual dengan cara tidak hanya membubarkan lembaga surveinya, melainkan juga “mencopot” gelar akademik pemilik lembaga survei tersebut.

Bangkit untuk Hebat

Setelah hancur lebur dalam perhelatan Piala Eropa 2004 di Portugal, Jerman terus melakukan pembenahan, dalam waktu dua tahun negeri Bavaria itu mampu bangkit menjadi hebat, meraih gelar juara ketiga pada Piala Dunia 2006 di negerinya sendiri. Lalu dua tahun kemudian, Jerman menjadi Runer Up Piala Eropa 2008 di Swiss-Austria dikalahkan Spanyol, selanjutnya pada Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, Jerman kembali menjadi juara ketiga mengalahkan Uruguay.

Konsistensi serta stabilitas terus dijaga pada Piala Eropa 2012 di Polandia-Ukraina menggapai Semi Final, dan akhirnya Jerman berhasil menjadi juara dalam Piala Dunia 2014 di Brazil. Rekor sejarah pun mencatat, Jerman sebagai negara Eropa pertama yang mampu memenangkan Piala Dunia di benua Amerika, rekor ini sederajat dengan Brazil yang sebelumnya tercatat sebagai negara Amerika Latin yang mampu menjuarai Piala Dunia di benua Eropa dan Asia.

Liga sepakbola Jerman tidaklah semewah liga Inggris, Spanyol dan Italia yang bertabur bintang serta gaji segudang, namun sistem liga profesional serta pembinaan pemain muda berbais sains mampu melahirkan pemain-pemain lokal berkualitas yang mampu menjadi tuan di rumahnya sendiri. Dengan mengandalkan kepada kolektivitas tim alias gotong royong, Jerman mampu mengalahkan negara pemilik bintang ternama.

Spirit Jerman harus ditiru apabila Indonesia ingin bangkit menjadi negara hebat dalam berbagai bidang dan menjadi tuan di rumahnya sendiri. Indonesia harus percaya kepada kemampuan diri, Indonesia harus menyadari bahwa kapasitasnya jauh melebihi kemampuan hari ini, Indonesia harus bisa bangkit, karena Indonesia tidak akan bisa hebat jika tidak bisa bangkit dari keterpurukan.

Untuk bisa bangkit menjadi hebat, salah satu prioritas yang mesti dilakukan adalah menyingkirkan para cendikiawan yang telah berkhianat kepada intelektualitasnya sehingga membuat masyarakat selalu tampak bodoh tak berdaya akibat tipu daya mereka. Tak ada lagi tempat bagi para intelektual pengkhianat!

Mohamad Hailuki

Koordinator Puslabpol

Leave a Reply