Stigma Khilafah & Neo-Komunisme

Pasca Reformasi stigmatisasi terhadap keturunan PKI & DI/TII sebenarnya sudah tidak ada lagi. Diskriminasi ekonomi politik sudah dihapuskan, semua punya kesempatan yang sama untuk mencapai kesejahteraan dan meraih kedudukan politik.

Namun dalam beberapa tahun terakhir stigma terhadap Khilafah atau Darul Islam dan Neo-Komunisme terasa menguat kembali. Secara sistematis seolah dipaksakan negara ini berada dalam kondisi di bawah ancaman bangkitnya kelompok ekstrim kanan-kiri.

Pola agitasi dan provokasi terstuktur dijalankan oleh berbagai pihak mulai dari organisasi masyarakat, lembaga NGO, bahkan beberapa institusi resmi negara menyuarakan tentang bahaya laten ideologi kanan-kiri radikal.

Entah disadari atau tidak, isu kebangkitan komunisme dan khilafah tersebut menjadi narasi propaganda besar pada ajang kontestasi nasional pada 2014 dan 2019. Secara tidak relevant lebelisasi stigma ditempelkan kepada kedua kubu kontestan yang berseberangan.

Kedua kutub politik kembali dibenturkan dengan tujuan menciptakan instabilitas. Pergulatan kelompok identitas digelorakan untuk membakar sentimen sosial. Pemantiknya bisa diletup melalui kesenjangan ekonomi, ketimpangan sosial, primordialisme, etno-nasionalisme dan perbedaan identitas.

Proxy War

Kita sadari sejak dahulu Indonesia selalu jadi arena permainan negara adidaya. Pada masa lalu kita diperebutkan Blok Barat & Timur, sekarang antara Amerika Serikat dan China plus negara-negara aliansinya. Antek-antek mereka inilah yang menganggu persatuan nasional.

Dengan kata lain, Indonesia adalah ladang proxy war bagi Amerika Serikat dan China. Keduanya memiliki kepentingan ekonomi-politik amat besar di republik ini. Perang proksi antara Amerika Serikat dan China di Indonesia bisa diendus pada berbagai sendi, salah satunya penggalangan dukungan kelompok-kelompok ideologis.

Mengapa Indonesia harus dilemahkan? Karena dengan pelemahan ikatan persatuan akan melahirkan berbagai gesekan. Akibatnya kepemimpinan lemah, pemerintahan tidak efektif, keuangan negara rapuh, demokrasi kehilangan arah.

Akibatnya Indonesia terus alami ketergantungan terhadap Amerika Serikat dan China. Jika kita sudah menyadari maka hendaknya kita tidak terus hanyut terjebak dalam hasutan permainan tersebut. Mau sampai kapan kita dipermainkan?

Kepentingan Nasional

Dalam kaitan ini, tampaknya masih relevan bagi kita untuk kembali kepada pemikiran Bung Hatta tentang “Mendayung di Antara Dua Karang” yaitu tekad untuk tidak mau dipermaikan oleh kepentingan negara lain, melainkan kita bebas-aktif mengutamakan kepentingan nasional.

Memang tidak mudah untuk bisa mendayung di antara dua karang, karena selain kapal harus dalam kondisi prima juga sang nahkoda harus punya kemampuan paripurna. Disokong pula oleh kru yang cekatan dan bermental baja.

Memang realitanya Amerika Serikat dan China menjadikan Indonesia sebagai ajang permainan kepentingan mereka, maka sudah semestinya kita bisa memanfaatkan keadaan untuk mencapai kepentingan nasional, yaitu negara kokoh yang berdaulat, adil dan makmur.

Indonesia tidak akan pernah menjadi negara khilafah, Indonesia pun tak bisa menjadi negara komunis. Indonesia selalu akan menjadi negara bhineka yang tunggal Ika apabila kita mau merawatnya. Mari renungkan bersama.

Mohammad Hailuki

Leave a Reply